Jumat, 29 Februari 2008

Tentang Saya

Foto Saya
Ahmad Kusasi LPMP KALSEL

Drs. Ahmad Kusasi, adalah Widyaiswara pada LPMP Kalimantan Selatan di Banjarbaru. lahir di Desa Banua Kapayang, Kabupaten Hulu Sungai Tengah tanggal 11 Januari 1950, Pendidikan yang pernah ditempuh adalah SD lulus tahun 1963, SMP lulus tahun 1967, SPG lulus tahun 1970. Selanjutnya kuliah di Fak. Da’wah di IAIN Antasari Banjarmasin sampai Sarjana Muda tahun 1975 dan menyelesaikan S1 pada FKIP Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, tamat tahun 1982. Pengalaman kerja sebagai guru SD di Banjarmasin, tahun 1977-1986, TU pada BPG Banjarmasin di Banjarbaru tahun 1986-1999. Menjadi Kepala Kandepdikbud Kab Hulu Sungai Selatan tahun 1999-2001, Kasubdin pada Dinas Pariwisata Kab. Hulu Sungai Selatan tahun 2001-2003. Terakhir diangkat sebagai Widyaiswara pada LPMP Kalsel sejak tanggal 1 Mei 2004. Tinggal di Jl. Panggelang No. 23 RT 03/IX Banjarbaru, KalSel. Telp. 05114774723 HP. 08125036093, bersama keluarga yang terdiri dari 1 orang isteri bernama Khairiyah lahir pada tahun 16 Juli 1955, PNS pada Departemen Agama Kota Banjarbaru serta 4 anak 1. Inayatul Huda (24 September 1980), 2. Aisya Nahdiya (02 Maret 1983, 3. Fakhrina Khairati (25 Juli 1985) 4. Fakhri Nur Zakky (24 Nopember 1987)
Melihat profil lengkap saya

PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN

PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN MELALUI PROGRAM KEMITRAAN

Latar Belakang.

Penjaminan mutu pendidikan muncul sebagai satu isu terpenting dalam kebijakan pendidikan nasional belakangan ini, khususnya pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Kebijakan ini dipandang sejalan dengan grand scenario desentralisasi pendidikan yang berimplikasi pada kebutuhan akan standar-standar pelayanan minimal.

Sebagaimana diketahui, pendidikan merupakan salah satu sektor yang didesentralisasikan, sehingga menjadi wewenang tingkat Kabupaten/Kota untuk menyelenggarakan sistem pendidikan nasional di daerah. Namun demikian jikalau pelaksanaan desentralisasi pendidikan tanpa disertai adanya standar-standar pelayanan dikuatirkan akan berpengaruh besar terhadap kualitas pelayanan pendidikan sebagai bagian dari pelayanan publik.

Dalam disentralisasi akan terjadi berbagai variasi dalam pencapaian mutu pendidikan antara masing-masing daerah kabupaten/kota yang disebabkan antara lain oleh visi masing-masing kepala daerah dan jajarannya, serta kapasitas sumber-sumber daya pendidikan.

Aspek mutu harus dapat dikendalikan dalam pelaksanaan desentralisasi tersebut. Implementasi desentralisasi tidak boleh mengabaikan mutu, bahkan harus berupaya memperbaiki mutu pendidikan. Desentralisasi harus mendukung peningkatan mutu pendidikan.

Pengertian Mutu Pendidikan.

Terdapat berbagai batasan tentang mutu pendidikan. Salah satu diantaranya adalah ”Mutu pendidikan adalah kemampuan sistem pendidikan, baik secara manajerial maupun teknis profesional, untuk meningkatkan kemampuan belajar” (Suryadi, 1992).

Batasan tersebut mengandung arti bahwa sekolah-sekolah, sebagai lembaga pendidikan harus mampu mendayagunakan segenap sumberdaya pendidikan sebesar-besarnya untuk meningkatkan kemampuan belajar, baik kemampuan belajar murid, guru, pengelola, maupun kemampuan sekolah secara keseluruhan.

Disamping itu terdapat pula batasan lain, yakni : ”Pendidikan dinyatakan sudah bermutu apabila seluruh peserta didik yang mengikuti suatu satuan program pendidikan pada jenis dan jenjang tertentu sudah mencapai standar yang telah ditetapkan untuk satuan program tersebut” (Yahya Umar, 1933). Yang dimaksudkan dengan standar adalah apabila jenis dan tingkat kemampuan akademik, keterampilan serta kepribadian yang diharapkan sudah dicapai oleh peserta didik setelah selesai mengikuti satuan program tertentu.

Misi Sekolah.

Sekolah sebagai sebuah lembaga pendidikan formal adalah sebuah masyarakat kecil (mini society) yang menjadi wahana pengembangan siswa, bukan sekedar birokrasi yang sarat dengan beban-beban administrasi. Aktivitas yang ada di dalamnya adalah proses pelayanan jasa, bukan proses produksi barang. Sekolah bukanlah komoditi material melainkan invastasi immaterial.

Di sekolah, siswa adalah pelanggan (client) yang datang ke sekolah untuk mendapatkan pelayanan, bukan bahan mentah yang akan dicetak menjadi barang setengah jadi atau barang jadi. Sekolah bukan pabrik, melainkan lembaga pelayanan pendidikan, karena itu tidak ada ”keharusan” setiap anak yang masuk ke sekolah pasti ”jadi” dan mempunyai kualitas yang sama seperti apa yang telah diproduksi oleh pabrik. Oleh karena itu, kebiasaan naik 100 % dan lulus 100 % adalah kebiasaan yang ’menjebak’ dan merugikan pendidikan itu sendiri secara keseluruhan dan dalam jangka yang panjang.

Misi sekolah sebenarnya adalah menyelenggarakan pendidikan dan sekaligus juga meningkatkan mutu pendidikan. Oleh karena itu maka kepala sekolah, guru dan tenaga kependidikan lainnya di sekolah adalah tenaga profesional yang terus menerus berinovasi untuk kelancaran dan kemajuan sekolah. Kepala sekolah dan seluruh warga sekolah harus menjadi ”learning person”, seseorang yang senantiasa berusaha menambah pengetahuan dan keterampilannya agar dapat meningkatkan prestasi sekolah dan meningkatkan mutu pendidikan.

Manajemen Mutu.

Untuk meningkatkan mutu pendidikan, kita merujuk kepada konsep Total Quality Management (TQM) atau Manajemen Mutu Terpadu, dengan pengertian menurut ISO/DIS 8492 (qtd.in Chang Zep Yun, 1998 : 4 ) ”adalah pendekatan manajemen sebuah organisasi, yang berpusat pada mutu, berdasarkan pada partisipasi semua anggotanya dan bertujuan sukses jangka panjang melalui kepuasan pelanggan, serta keuntungan bagi anggota organisasi dan masyarakat”.

Penerapan pendekatan TQM dalam penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan adalah :

  1. Fokus pada Pelanggan. Pelanggan adalah semua pihak yang memiliki hubungan terhadap organisasi lembaga pendidikan yang terdiri atas pelanggan internal dan eksternal. Semua pihak berperan sesuai pada tugas pokoknya, menentukan komitmen bersama, menyepakati dan melaksanakan apa yang menjadi komitmen dan kesepakatan tersebut.
  2. Obsesi terhadap Kualitas. Kualitas ditetapkan bersama dalam lembaga pendidikan tersebut, maka semua pihak yang tergabung dalam lembaga tersebut harus memenuhi bahkan melebihi apa yang ditentukan. Komitmen yang dibentuk di dalamnya sepakat untuk dilaksanakan yang terbaik, tepat waktu, tepat sasaran, dan lebih baik.
  3. Pendekatan Ilmiah. Pendekatan TQM memerlukan pendekatan ilmiah yang dilaksanakan semua pihak, terutama untuk mendesain pekerjaan dan pengambilan keputusan, serta memecahkan masalah yang berkaitan dengan pelayanan sekolah.
  4. Komitmen. Komitmen ini sangat diperlukan menuju suatu kualitas, justru komitmen tersebut menentukan kualitas organisasi pendidikan. Komitmen harus dibuat dan disepakati bersama, jangan mencoba membuat kesepakatan sepihak karena akan menimbulkan antipati dan tidak dapat membangun tim atau tidak akan terbentuk team spirit.
  5. Kerjasama Tim. Organisasi sekolah yang dikelola secara tradisional sering kali menciptakan persaingan antar jenjang atau kelas dengan maksud agar daya saingnya terdongkrak. Hal ini akan berkecenderungan untuk menghabiskan energi, yang seharusnya dipusatkan pada perbaikan kualitas. Pada organisasi pendidikan yang menerapkan TQM diperlukan kerjasama tim, kemitraan, dan hubungan dijalin dan dibina antar semua pihak yang ada di dalamnya.
  6. Perbaikan secara Berkesinambungan. Langkah berikutnya adalah diperlukan perbaikan secara sportif dan berlangsung terus menerus. Demikian pula pimpinan harus legawa untuk menerima saran dan kritik karena dipandang sebagai suatu perbaikan dalam pengambilan keputusannya.
  7. Pelatihan. Pimpinan dan staf yang memiliki minat dalam menerapkan TQM, maka pelatihan menjadi sesuatu yang fundamental karena prinsip belajar terus menerus merupakan langkah untuk mencapai kualitas dan memberi pelayanan terbaik.
  8. Kebebasan yang Terkendali. Keterlibatan semua pihak diikutsertakan dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah. Semua pihak dipandang sangat penting karena hal ini akan menumbuhkan rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa tanggung jawab bersama.

Manajemen kualitas (Qoality Management) sebagai aktivitas dari fungsi manajemen secara keseluruhan yang menentukan kebijakan kualitas, dikembangkan melalui alat-alat seperti: (a) Perencanaan Kualitas - Quality Planning, (b) Pengendalian Kualitas – Quality Control, (c) Penjaminan Kualitas – Quality Assurance, (d) Peningkatan Kualitas – Quality Improvement.

Tanggung jawab manajemen kualitas ada pada semua level dari manajemen, tetapi harus dikendalikan oleh manajemen puncak (top manajemen) dan implementasinya harus melibatkan semua anggota organisasi. Oleh karena itu, kunci semua proses dan prosedur ini adalah Kualitas Kepemimpinan (Quality Leadership) yang ada dan dimiliki oleh para manajer di semua level dan lini yang ada. Dari konsep ini kelihatan bahwa Pengawas bergerak pada area Quality Control (Pengendalian Mutu) sedangkan LPMP bergerak pada area Quality Assurance (Penjaminan Mutu).

PENINGKATAN MUTU (QUALITY IMPROVEMENT)

Prosedur yang berlaku dalam proses peningkatan mutu diawali dengan adanya perencanaan yang berkualitas. Pelaksanaan dari perencanaan sepenuhnya menjadi tanggung jawab manajemen dengan mengerahkan segenap daya, dana dan tenaga yang ada, dikelola sedemikian rupa sehingga menghasilkan suatu produk sebagai keluaran. Produk yang dihasilkan kemudian dikontrol (melalui pengukuran dan analisis) dan terus diperbaiki pada bagian-bagian yang memerlukan perbaikan, yang hasilnya dijadikan dasar untuk membuat program baru yang lebih baik dan lebih efektif. Demikian seterusnya berputar dan berlanjut sampai terjadi peningkatan mutu. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa peningkatan mutu hanya terjadi melalui siklus kontrol dan perbaikan yang berkelanjutan. Mutu akan meningkat apabila dilakukan perbaikan demi perbaikan yang terus menerus. Apabila perbaikan tidak dilakukan lagi maka peningkatan mutu pun akan terhenti.

Untuk meningkatkan mutu pendidikan, hal yang mendapat prioritas adalah mengupayakan agar guru, kepala sekolah dan juga siswa lebih bersungguh-sungguh dan bekerja lebih keras serta bersemangat dalam belajar dan mengajar. Untuk itu perlu diupayakan ”pressure” terhadap guru, kepala sekolah, dan juga siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Dengan adanya pressure diharapkan akan tumbuh dan semakin kuat motivasi untuk meningkatkan kinerja, memperbaiki proses dan memperkuat etos kerja sehingga dapat meningkatkan prestasi. Akan tetapi, pressure yang diberikan secara terus menerus dapat menimbulkan resistensi atau membuat orang akan menghindar, sehingga yang diperoleh bukannya prestasi tapi malah frustrasi. Oleh karena itu pressure harus diimbangi dengan ”support”, karena sesungguhnya ’pressure and support’ adalah dua hal yang sangat penting adanya dalam mencapai sukses dalam upaya peningkatan mutu. Namun harus diingat bahwa pressure tanpa support menimbulkan resistensi dan frustrasi, sedangkan ’support’ yang tidak diimbangi dengan pressure akan menghasilkan pemborosan dan pembusukan. Secara ringkas dapat digambarkan seperti berikut ini :

Dalam penjaminan mutu (quality assurance) diawali dengan pembuatan dan penetapan standar, karena mutu hanya dapat diukur jika ada standar. Dengan adanya standar, paling tidak dapat diketahui dua hal, yaitu: dimana posisi kita sekarang dan kemana kita akan menuju. Dengan berpedoman pada standar kita berusaha mengetahui dimana kita berada, seberapa besar gap/jarak antara kita berada dengan standar yang dikehendaki, apa yang sudah dapat dicapai dan apa yang belum, serta apa kekurangan/kelemahan yang ada pada kita. Disamping itu, dengan mengetahui arah dan jarak dengan tujuan, kita bisa menyusun program lebih efektif dan realistis serta menyusun strategi langkah ke depan untuk mencapai tujuan yang diharapkan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Standar bisa berupa kompetensi, ukuran/tolak ukur, syarat-syarat atau prosedur.

Sudah barang tentu, proses ini baru terjadi apabila standar diimbangi dengan kontrol. Tanpa adanya kontrol sudah barang tentu proses dan prosedur tidak akan dapat berfungsi dengan baik dan benar. Kontrol dapat dilakukan dengan bentuk inspeksi, evaluasi, monitoring atau pelaporan dan penjaringan data. Dengan adanya kontrol akan dapat diketahui bagian-bagian mana yang lemah atau kurang dan memerlukan perbaikan. Peningkatan mutu hanya akan terjadi hasil dari perbaikan yang berkelanjutan.

Kita memerlukan perbaikan yang terus menerus karena kita memasuki persaingan yang semakin ketat dari waktu ke waktu. Tanpa perbaikan dan peningkatan kualitas, kita akan kalah bersaing, dan jika kita kalah bersaing maka kita akan kehilangan kesempatan dan kehilangan masa depan.

KEMITRAAN DAN SINKRONISASI

Upaya meningkatkan mutu pendidikan bukanlah sebuah pekerjaan yang sederhana dan gampang, melainkan sebuah usaha bersama yang memerlukan kesungguhan dan komitmen yang tinggi diantara semua potensi, institusi, dan sumberdaya yang ada. Memang pendidikan adalah tanggung jawab pemerintah, orangtua dan masyarakat secara keseluruhan dan bersama-sama, dan oleh karena itu adalah merupakan keharusan adanya sistem, koordinasi dan pemberdayaan semua sektor dan semua lini yang punya perhatian dan kepedulian terhadap pendidikan.

LPMP (Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan) sebagai salah satu bagian yang tak terpisahkan dalam keseluruhan upaya meningkatkan mutu pendidikan mengembangkan sayapnya dan menyemaikan baktinya dengan menggalang kebersamaan dan kemitraan, baik secara struktural maupun fungsional, bersama dengan potensi dan institusi lainnya meningkatkan mutu pendidikan.

Ada beberapa konsep yang ditawarkan sebagai kerangka dasar untuk mengembangkan kemitraan dan kebersamaan :

1. PENGUATAN LEMBAGA, yakni suatu upaya yang terencana untuk memberdayakan institusi yang ada agar dapat mengembangkan dan memperkuat posisi dan potensinya sehingga dapat mewujudkan Tupoksinya dengan baik dan benar. Upaya ini terutama dengan membenahi human resources, infrastructure dan work environment.

2. PENGEMBANGAN SISTEM, yakni menyatukan semua institusi dan potensi yang ada kedalam suatu sistem kerjasama yang kokoh dan efektif. Pengembangan sistem ini diawali dengan menyamakan persepsi dan konsepsi yang berorientasi pada peningkatan mutu. Upaya ini terutama didasari oleh adanya komitmen yang kuat dari semua pihak terkait untuk memperbaiki diri dan meningkatkan mutu pelayanan dan mutu keluaran.

3. INTENSIFIKASI KOORDINASI, yakni melakukan upaya koordinasi yang intensif antar instansi terkait –terutama antara LPMP, Pengawas dan Dinas Pendidikan- untuk dapat mengembangkan quality management sehingga dapat mensinergikan antara pengemdalian mutu dengan penjaminan mutu (quality control and quality assurance) sehingga dapat tercapai peningkatan mutu.

4. REVITALISASI PROGRAM, yakni program atau konsep yang sudah ada, atau yang diunggulkan, hendaknya lebih diintensifkan penataannya, pengembangannya dan pendayagunaannya untuk meningkatkan mutu pendidikan. Beberapa konsep dan program yang sementara ini dipercaya dapat berguna untuk meningkatkan profesionalisme guru, manajemen sekolah dan sistem pembinaan, seperti: MPMBS, Gugus Sekolah, KKG dan KKKS, PKG, SEQIP, PBS, dan lain-lain; sudah selayaknya ditinjau kembali dan dibahas lebih rinci dan realistis di masing-masing Kabupaten/Kota. Dengan demikian diharapkan konsep dan program yang sudah disusun begitu baiknya hendaknya dapat direalisasikan dengan baik pula.

5. FASILITASI dan ADVOKASI, yakni LPMP diharapkan dapat memfasilitasi berbagai kegiatan diatas agar dapat terlaksana dengan baik dam efektif. Di samping itu, LPMP juga diharapkan dapat memberikan dukungan dan konstribusinya pada bagian-bagian dimana pihak yang lain memerlukan. Bahkan, LPMP diharapkan dapat mengembangkan jaringan komunikasi dan informasi dengan Pemerintah (Depdiknas), baik melalui struktur organisasi maupun melalui jaringan teknologi informasi dan internet.

Ini hanyalah beberapa tawaran yang bisa dipikirkan dan dikembangkan lebih lanjut dalam rangka sinkronisasi dan menggalang kemitraan dalam semangat kebersamaan. Bersama LPMP kita maju meningkatkan mutu. Bersama kita bisa.

Banjarbaru, Januari 2008

AHMAD KUSASI

Kamis, 28 Februari 2008

MEMBENAHI SEKOLAH KITA

MEMBENAHI SEKOLAH KITA

( Bagian Pertama dari Dua Tulisan)

Keadaan masa kini sudah sangat jauh sekali berubah dibandingkan dengan satu atau dua dasawarsa yang lampau. Maka pendidikan juga mengalami dan menghadapi masalah-masalah yang semakin rumit dan kompleks. Tekanan demografis, berupa derasnya arus siswa pendaftar di lingkungan pendidikan formal semakin meningkat pada setiap jenjang. Peningkatan jumlah siswa itu tak akan terbendung, seiring dengan aspirasi siswa dan orangtuanya tentang pendidikan yang ditempatkan pada sebuah proporsi baru. Pendidikan ibarat sebuah tangga sosial yang dicita-citakan, sebagai sebuah saluran hidup baru untuk mencapai taraf hidup yang lebih baik dan layak. Hasrat dan semangat ini bertumpu pada dunia pendidikan, sehingga posisi dan kompetensi pendidikan dalam alur kehidupan ini semakin menonjol. Orang ingin menempuh pendidikan dan memasuki sekolah tidak lain agar dapat hidup lebih baik, sekurang-kurangnya lepas dari wilayah derita yang selama ini terasa membelenggu. Kesemuanya itu memang tak lepas dari tujuan hidup yang serba pragmatis dan ekonomis.

SEKOLAH SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN

Di sela-sela perubahan yang semakin cepat, lembaga pendidikan tumbuh perlahan, bahkan seolah-olah bagai keong yang enggan bergerak, lamban menyesuaikan diri dan akan selalu tertinggal jauh di belakang. Kesemuanya itu memang kerkaitan di sekitar kata kunci: perubahan, adaptasi dan kesenjangan. Setiap kali ada perubahan maka yang diharapkan ialah terjadinya semacam keseimbangan baru melalui penyesuaian diri. Jika tidak, maka akan terjadi kesenjangan dan kegoncangan. Inilah peristiwa yang sifatnya menggejala, bahkan sebagai sifat hakiki dari semua fase kehidupan manusia. Tak terkecuali “pendidikan”.

Issu rendahnya mutu pendidikan, sekaligus mutu sekolah dan mutu guru, telah menjadi bahan pemikiran kita semua, menjadi masalah bagi kaum pendidik, orang tua, masyarakat dan pemerintah. Kita sedang mengejar suatu ketertinggalan yang amat jauh, dan dalam mengejar ketertinggalan itu kita menyadari bahwa perangkat-perangkat kita masih harus terus didandani.

Bahwa mutu sumber daya manusia Indonesia dikatakan kurang memuaskan, itu artinya, kita memiliki daya saing yang sangat lemah dibanding dengan negara-negara lain. Hal itu sesungguhnya resultante tiga lingkungan: keluarga, sekolah, dan masyarakat, karena pendidikan berlangsung dalam tiga lingkungan tersebut. Mutu rendah bukanlah semata-mata kesalahan pendidikan formal (sekolah), karena kita bersama bertanggung jawab untuk mengejar ketertinggalan, yakni ketertinggalan dari taraf tertentu yang dicita-citakan. Di negara manapun, memang pendidikan formal selalu ditempatkan pada posisi penting yang tidak menguntungkan. Padahal justru banyak masalah sesungguhnya akibat dari lingkungan ketiga yang jauh lebih besar daripada lingkungan pendidikan formal, yaitu masyarakat.

SEKOLAH DAN MASYARAKAT

Mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan tujuan utama kehidupan bernegara. Ini berarti bahwa pemerintah harus selalu berusaha agar seluruh warga bangsa ádalah warga negara yang cerdas dan terdidik. Kenyataan menunjukkan bahwa warga negara yang bodoh ádalah beban bagi negara yang sangat menghambat usaha pembangunan. Sebaliknya, warga negara yang pandai dan terdidik akan sangat berarti dalam membantu usaha pembangunan dirinya sendiri dan masyarakat atau bangsa secara keseluruhan.

Lebih konkrit lagi, Undang-undang Dasar Negara menyatakan bahwa seluruh warga negara didorong dan diberi kesempatan untuk memperoleh pendidikan, yang dikembangkan dengan suatu Sistem Pendidikan Nasional. Karena pentingnya, maka pendidikan harus mendapatkan prioritas utama dalam pembangunan, yang diwujudkan dalam penyediaan anggaran pembangunan. Idealnya minimal 20 % dari anggaran pendidikan berada di sektor pendidikan. Meskipun target ideal 20 % masih belum tercapai sepenuhnya, tetapi paling tidak sekarang kita sudah mulai melangkah ke arah itu. Dan bila tekad ini terus dipegang, maka lambat atau cepat target ideal itu akan tercapai. Insya Allah.

Meskipun pemerintah telah menampakkan itikad baik “political-will” dalam merencanakan dan menyusun anggaran pembangunan pendidikan, tetapi semua itu tidak akan banyak membuahkan hasil tanpa dukungan partisipasi seluruh warga masyarakat. Karena itu konsep dasar pendidikan adalah bahwa pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, orangtua dan masyarakat. Tanpa perpaduan ketiganya mustahillah usaha pendidikan yang memakan biaya besar akan berhasil dengan baik sesuai harapan bersama.

SEKOLAH SEBAGAI SUB-SISTEM

Sekolah mempunyai posisi dan fungsinya yang tidak bisa dipisahkan dengan elemen-elemen lainnya dalam keseluruhan sistem pendidikan nasional. Sebagai lembaga pendidikan formal, sekolah memiliki ketentuan, jenjang, isi, dan kedudukan tertentu dalam jalur birokrasi negara. Penyelenggaraan sekolah diatur dengan peraturan perundang-undangan resmi, baik mengenai statusnya, penjenjangan dan jenis-jenisnya, pengelolaan dan pembinaannya, penyelenggaraan administratif dan edukatifnya, dan yang lain-lainnya.

Dalam keseluruhan sistem pendidikan nasional, sekolah adalah suatu sub-sistem sebagai pelaksana mandat masyarakat. Uapaya mencerdaskan kehidupan bangsa dilaksanakan oleh sekolah. Sekolah mengembangkan sistem untuk membentuk pribadi-pribadi dengan kualifikasi tertentu. Untuk maksud itu maka sekolah memberikan pengetahuan, keterampilan dan sikap-sikap tertentu. Nilai-nilai yang diberikan oleh sekolah antara lain: pengetahuan dasar, orientasi lingkungan, universalisme, kebebasan intelektual, rasa harga diri dan partisipasi pembangunan. Dengan semua itu sekolah menjadi proses pemberian nilai tambah pribadi. Orang yang hanya tamat SD dengan yang tanat SLTA jauh berbeda nilai tambahnya. Apalagi dibandingkan dengan S1, S2, dan S3. Makin tinggi tingkat pendidikan tentu makin tinggi nilai tambahnya, dan lebih mampu berperan serta dalam proses pembangunan.

Sekolah dengan sistem dan cara yang dikembangkannya menjadikan kehadirannya sebagai sesuatu yang sangat berharga, sehingga setiap orang terundang hasratnya untuk bersekolah, dimanapun ia berada dan bagaimanapun keadaannya.

Sebenarnya, ada beberapa ”kelemahan” dari sistem sekolah yang sering mengganggu ’benak’ para pelaku pendidikan :

Pertama: Ketika seorang anak masuk sekolah, ia telah terlibat dalam sebuah sistem tertentu yang mengolah dan menempa dirinya menjadi lulusan dengan predikat dan kualitas tertentu, sesuai dengan tujuan institusional sekolah itu. Anak yang merupakan in-put bagi sekolah dengan kondisi dan latar belakang yang beragam, akan diolah dengan suatu sistem sehingga diharapkan menjadi out-put dengan standar yang relatif sama. Dengan demikian, tatkala siswa berada di sekolah, ia terlibat dalam proses seleksi yang ketat dan menghadapi persaingan yang cukup berat. Kemampuan dan perkembangan anak benar-benar diolah dan diuji oleh sistem sekolah. Karena peristiwa seleksi inilah makanya banyak anak yang tersisih. Makin lama dan makin tinggi sekolah, angka drop-out cenderung semakin besar. Pukulan drop-out ini akan semakin menyakitkan hati kalau dalam proses inovasi dan seleksi itu quality controlnya ”tidak pas” seperti sering dikeluhkan oleh beberapa pakar seperti Pak Andi Hakim dan Pak Habibi.

Kedua: Dalam berbagai pengkajian dan penelitian, telah terungkap bahwa sebab utama anak putus sekolah adalah alasan sosial-ekonomi, dan bukan intelektual-edukatif. Pengalaman keseharian di sekolah dan masyarakat sekitar menunjukkan bahwa faktor sosial-ekonomi merupakan faktor penyebab yang kuat terjadinya putus sekolah dan arus murid memasuki sekolah-sekolah yang lebih tinggi. Hanya anak dari keluarga yang mempunyai latar kehidupan dan kondisi sosial-ekonomi yang cukup kuat yang dapat menjalani sekolah dengan tenteram serta dapat mengenyam pendidikan lebih lama dan lebih tinggi. Anak-anak yang ’berada’ mempunyai banyak alasan dan kemungkinan untuk ”menang” dalam seleksi dan persaingan dengan anak-anak lain yang sosial-ekonominya lemah. Kekalahan ini menjadi semakin lengkap ketika ternyata ada anak yang potensial terpaksa rela menerima ’nasib’ karena ekonomi keluarganya lemah, sementara teman sekelasnya ”yang lain” meluncur mulus karena didorong oleh ’tangan-tangan kuat’. Apa boleh buat.

Ketiga: Akibat-akibat ekonomis ini merefleksi juga ke segi sosial. Karena biaya sekolah cukup besar maka makin tinggi tingkat sekolah makin sedikit orang yang dapat memasukinya, sehinggga makin tinggi tingkat pendidikan yang dicapai seseorang, ia akan mendapat harga sosial yang lebih tinggi pula. Sistem dan karakteristik yang berlaku di sekolah mengandung sifat elitis, sehingga tingkat pendidikan sering merangsang seseorang untuk ”merasa lebih” dan selalu ”ingin lebih”. Upaya untuk menghilangkan sifat elitis sekolah ini dilakukan dengan kebijakan pemerataan memperoleh kesempatan pendidikan dan kebijakan wajib belajar. Pemerintah berusaha membangun sekolah sebanyak mungkin dan memberi kesempatan kepada masyarakat untuk turut serta membangun sekolah. Akan tetapi pemerataan sering tidak disertai dengan pengaturan sistem sehinggga memperbesar drop-out. Hal ini menimbulkan kesan bahwa pemerataan mengabaikan peningkatan kemampuan. Apalagi kalau ditambah dengan pengelolaan sekolah yang berbau ”komersil”, atau menerima nasib sebagai ’anak tiri’ Semakin lengkaplah kesusahan dan semakin dalamlah kesenjangan antara kuantitas dan kualitas sekolah-sekolah kita.

Keempat: Kelemahan sistem sekolah juga tampak ketika para lulusannya mulai terjun ke tengah masyarakat memasuki lapangan kerja. Anak yang tidak diterima masuk ke dalam lembaga-lembaga sosial-ekonomi jauh lebih besar jumlahnya daripada yang berhasil. Hal ini jelas sekali kelihatan pada ’ramai’nya remaja-remaja lulusan sekolah menengah dan perguruan tinggi yang mengerubungi lowongan kerja begitu terbuka kesempatan atau ada penerimaan lapangan kerja yang sesuai dengan tingkat pendidikan. Penerimaan lulusan sekolah kedalam masyarakat ditentukan oleh masyarakat itu sendiri, bukan oleh sekolah. Masyarakat mempergunakan caranya sendiri dalam menerima tenaga kerja. Mekanisme dan kriteria serta seleksi untuk memilih dan menerima pegawai atau tenaga kerja pada lembaga-lembaga sosial-ekonomi tidaklah ditentukan oleh sistem pendidikan formal yang ada. Nilai tinggi sebagai lambang prestasi belajar yang diperoleh di sekolah dengan susah payah, ternyata tidak menjadi ukuran utama dalam penempatan kerja di masyarakat. Jika ada dua orang yang prestasinya berbeda, belum tentu yang lebih tinggi yang lebih diutamakan untuk diterima. Demikian juga, bila ada dua orang yang memiliki prestasi yang sama, belum tentu akan mendapat ’nasib’ yang sama pula untuk diterima dan diperlakukan di dalam masyarakat.

Inilah beberapa titik rawan yang dihadapi oleh sekolah, dan ini pulalah yang menimbulkan anggapan bahwa sekolah tidak dengan sendirinya menentukan posisi kemasyarakatan.

ORIENTASI SEKOLAH

Sistem sekolah dan sistem yang berlaku di masyarakat memberikan getaran yang kuat kepada sekolah dan siswa-siswa yang menjalaninya. Memperoleh posisi dalam masyarakat tampaknya menjadi orientasi yang pokok bagi sekolah. Orientasi posisional ini memberikan implikasi yang luas kepada sistem sekolah :

Pertama : Efek orientasi posisional mempengaruhi motivasi belajar. Jika anak melihat titik orientasi itu berada jauh dari jangkauannya, hal itu akan mengurangi motivasi belajar. Sebaliknya, motivasi belajar anak menjadi lebih besar ketika titik orientasi itu dirasakan dekat. Naik kelas, naik tingkat atau lulus ujian adalah saat-saat yang penting, yang dapat dianggap fase-fase yang makin mendekatkannya kepada titik orientasi. Maka anak baru giat belajar ketika mau ujian. Bahkan sangat mungkin muncul anggapan: pokoknya lulus.

Kedua : Orientasi posisional mempengaruhi pertimbangan ekonomis sekolah. Anak yang berasal dari keluarga dengan tingkat ekonomi yang kuat berambisi besar dan punya kegairahan yang kuat untuk mengejar titik orientasi yang lebih jauh dan lebih besar. Sebaliknya, anak yang berasal dari keluarga dengan kondisi ekonomi lemah harus tahu diri, bahwa orangtua mereka memiliki kemampuan yang lemah pula dalam membiayai sekolahnya. Karena itu mereka ’terpaksa’ memilih jarak yang pendek dan waktu yang singkat dalam mendapatkan titik orientasi sekolahnya. Soal berbakat atau tidak, itu adalah yang sekunder dalam memilih dan menentukan arah dan masa sekolah.

Ketiga : Orientasi posisional mempengaruhi dalam menilai prestise sekolah. Sekolah yang memberikan kemungkinan yang besar bagi lulusannya untuk mendapatkan kerja dan posisi dalam masyarakat menjadi disenangi dan dibanjiri oleh siswa-siswa yang ingin masuk. Beberapa sekolah mungkin menjadi favorit karena telah banyak para lulusannya menempati poisisi ”baik” dalam sistem dan struktur kemasyarakatan. Apalagi kalau pejabat yang menduduki posisi tertentu memberikan prioritas kepada para lulusan sekolah tertentu dengan prosedur dan cara tertentu pula. Dan itu sangat mungkin.

Bila ditelusuri lebih jauh, orientasi posisional ini merefleksi lebih dalam kepada struktur pendidikan yang lebih luas. Jumlah dan jenis pendidikan formal menjadi sangat banyak dan beragam. Sekolah bukan saja diselenggarakan oleh Departemen Pendidikan, akan tetapi nampaknya Departemen lain juga mambangun dan mengelola sekolahnya sendiri.

Kalau diingat bahwa Departemen ádalah lembaga administrartif dan lembaga politik masyarakat, maka penyelenggaraan sekolah-sekolah oleh depertemen tersebut tentu juga dilandasi oleh alasan ketenagaan dan alasan sosial-politis dalam penempatan alokasi tenaga dan posisi pada Departemen yang bersangkutan. Adalah cukup beralasan kalau penerimaan pegawai -bahkan juga banyak jabatan- di Departemen Dalam Negeri atau Pemerintah Daerah, para lulusan STPDN akan mendapat prioritas utama.

Erat hubungannya dengan orientasi sekolah ini, harga sosial dan penempatan posisi yang dihubungkan dengan tingkat pendidikan formal ini menimbulkan getaran yang kurang mengenakkan bagi jabatan guru. Guru SD dianggap lebih rendah daripada guru SMP. Dosen (guru pada PT) menjadi ‘lebih tinggi’ daripada guru SLTA, dan seterusnya. Apa memang begitu. Padahal, sistem sekolah kita secara langsung menjadikan ‘guru’ sebagai sandaran pokok dan sasaran pokok.

Banjarbaru, Januari 2008

AHMAD KUSASI

e-MAIL: kusasi@yahoo.com



MENDANDANI GURU KITA

(Bagian Kedua dari Dua Tulisan)

Guru ádalah mereka yang memang dipersiapkan berada di garis paling depan, yang setiap saat bertugas berinteraksi dengan murid. Tugas keguruan melambangkan pertemuan antar dua generasi –generasi tua dengan generasi muda- lambang kesinambungan masa lalu dengan masa depan. Gurulah yang diberi kepercayaan untuk menerapkan program kurikuler. Di tangan gurulah –bukan di tangan orang lain- program menjadi hidup, atau . . . . . justru mati.

GURU DAN PROSES BELAJAR MENGAJAR

Dengan segala kelemahan dan kekurangannya, sekolah harus ada dan harus terus jalan, karena kita telah bersepakat bahwa pengembangan sumber daya manusia sungguh amat penting untuk kelangsungan negara dan kelangsungan pembangunan. Dan pendidikan serta pengembangannya sambung menyambung dari pendidikan dasar terus SMP, SLTA dan seterusnya, merupakan human investment atau investasi masa depan yang paling menentukan. Konsekwensi sederhana dari jalan pemikiran ini adalah penyediaan tenaga guru yang baik amatlah penting karena guru merupakan tenaga pendidik terpenting dalam proses pendidikan di sekolah. Dan karena itu maka kehadiran guru di hadapan siswa tidak bisa digantikan sebulatnya dengan berbagai media pendidikan.

Sekolah adalah sebuah bangunan dengan segala peralatannya yang di dalamnya terjadi proses/interaksi belajar mengajar. Dan dalam proses interaksi itu guru adalah kuncinya. Dasar dan komponen interaksi belajar-mengajar di sekolah menurut Winarno Surachmad adalah : (1) ada tujuan yang jelas akan dicapai, (2) ada bahan/materi yang menjadi isi interaksi, (3) ada pelajar yang aktif mengalami, (4) ada guru yang melaksanakan/memfasilitasi, (5) ada metode tertentu yang dikembangkan untuk mencapai tujuan, (6) ada situasi yang subur, yang memungkinkan proses interaksi dapat berlangsung dengan baik, (7) ada penilaian terhadap proses dan hasil interaksi tersebut.

Untuk mencapai tujuan yang diharapkan dalam proses interaksi itu, masing-masing komponen ’harus’ saling merespon dan mempengaruhi antara yang satu dengan yang lain. Tugas guru adalah bagaimana mendesain dari masing-masing komponen agar tercipta proses belajar-mengajar. Dengan demikian guru selanjutnya akan dapat mengembangkan interaksi yang lebih dinamis untuk mencapai tujuan yang diharapkan dengan proses belajar-mengajar itu.

Tilikan terhadap proses belajar-mengajar didasari dengan suatu asumsi bahwa hasil belajar (product-variables) tidaklah ditentukan oleh siapa gurunya (presage-variables) atau siapa muridnya (contex-variables), melainkan tergantung kepada apa yang terjadi dengan guru serta muridnya (process-variables). Maka prestasi belajar tidaklah selalu tergantung kepada megahnya gedung sekolah, hebat dan lengkapnya alat, banyaknya buku pelajaran, melainkan tergantung kepada apa yang terjadi di dalam gedung yang megah itu, apa yang terjadi dengan alat-alat yang lengkap itu, serta apa yang terjadi dengan buku-buku pelajaran yang disediakan di sekolah itu. Ini berarti bahwa mutu pendidikan banyak tergantung pada kualitas guru dalam membimbing proses belajar-mengajar ketika berinteraksi dengan murid di dalam atau diluar lingkungan sekolah.

BEBERAPA KENDALA

Arah pendidikan kita menuju kepada demokratisasi. Kita menekankan segi kuantitas dalam pelayanan dan pemerataan kesempatan mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah yang dibangun oleh pemerintah. Karena penekanan yang kuat pada aspek pemerataan dan pelayanan kuantitatif maka akibatnya soal mutu cukup lama terabaikan. Soal kuantitas dan kualitas merupakan dua hal yang sering saling berbenturan dan dilematis, terutama dalam kondisi dan kemampuan negara yang masih sangat terbatas. Sejalan dengan itu, aspirasi pendidikan masyarakat meningkat, di tengah kuatnya tuntutan kualitas yang harus ditingkatkan.

Jumlah anak usia sekolah cukup besar sehingga diperlukan dana yang besar pula untuk menyediakan sarana dan prasarana. Belum lagi dihitung berapa besarnya tenaga yang perlu disiapkan untuk mengisi kekosongan dan kekurangan. Daerah nusantara yang luas dan terdiri dari beribu pulau yang bertebaran merupakan persoalan yang besar karena terbatasnya sarana komunikasi dan transportasi. Upaya peningkatan mutu pendidikan masih mendapat prioritas yang rendah dibanding dengan bidang-bidang lainnya yang sama-sama penting untuk digarap. Di samping itu, mendidik anak tidaklah didasari dan diukur sebagaimana pembangunan fisik dan ekonomi. Diperlukan waktu yang lama dan perhatian yang terus menerus untuk melihat proses dan keberhasilannya.

Di samping beberapa faktor di atas, sikap resistent guru-guru dalam mengadopsi dan mengadaptasi inovasi di bidang pendidikan dan pembelajaran juga ikut menentukan. Mereka begitu susah menerapkan pendekatan-pendekatan dan ’metode baru’ dalam pendidikan dan pembelajaran, meskipun mereka sudah dilatih. Soalnya terletak pada hambatan-hambatan profesional. Dan ini pun tak sederhana masalahnya. Pemecahannya pun tidak bisa ’tok cer’, tanpa kita pahami akar persoalannya. Faktor-faktor lingkungan, sosial ekonomi, budaya, dan lain-lain, tersangkut di dalamnya. Makin rumitlah jadinya.

Beberapa hambatan yang tampak dan terasa selama ini adalah, antara lain

Pertama : Hambatan Lingkungan. Seringkali guru berada dalam lingkungan yang kurang menguntungkan untuk bekerja secara serius. Betapapun mereka punya motivasi kuat untuk bekerja serius, jika lingkungan kurang menunjang, guru akan ikut hanyut juga. Sering upaya ‘kreatif’ yang dilakukan guru di sekolah tidak selalu didukung dan diimbangi oleh lingkungan sekitar yang tampaknya bertentangan dengan misi suci sekolah. Upaya guru bersusah payah menata hati, otak dan otot anak, akan sia-sia belaka kalau ternyata lingkungan merusaknya habis-habisan. Kasus kenakalan anak, perkelahian pelajar, dekadensi moral, anak yang terlibat kejahatan, pendangkalan agama, dan yang semacamnya ádalah produk lingkungan yang tidak mendidik. Lingkungan anak juga sering menghambat. Sumber-sumber belajar, termasuk bahan bacaan dan tontonan serta hiburan sangat terbatas, bahkan banyak yang cenderung ‘menyesatkan’ anak, baik dalam jangka pendek apalagi jangka panjang. Anak-anak kurang meminati surat kabar, majalah dan pustaka, dan bahkan jarang bersentuhan dengan sumber-sumber informasi lainnya. Lagi pula mereka mendapat kesulitan belajar di rumah karena orangtua kebanyakan tidak membantu. Tak ada yang mendukung, padahal anak harus naik kelas atau lulus. Orangtua mendesak guru, menekan keputusan-keputusan sekolah, baik secara langsung maupun tidak. Orangtua merasa gengsinya rendah jika anaknya tidak naik kelas. Ini berarti guru berada di tengah masalah yang dilematis. Karena itu kontrol mutu sukar dilaksanakan secara konsekwen dan konsisten.

Kedua : Hambatan Administratif. Guru-guru dipacu untuk menyelesaikan bahan pelajaran sesuai dengan tuntutan kurikulum. Jika lingkup program untuk suatu masa belajar tertentu itu tidak selesai, maka guru merasa punya utang, merasa berdosa, di samping tentu saja disalahkan oleh pimpinan sekolah. Akibatnya mereka nyaris tidak punya minat untuk sedikit kreatif dalam mengembangkan pendekatan-pendekatan baru dalam pembelajaran. Misalnya, suatu bahan yang dengan metode ceramah (bervariasi) cukup 1 jam pelajaran, tapi kalau menggunakan metode pemecahan masalah perlu waktu 3 jam pelajaran. Dari segi target penyelesaian bahan, jelas ini tidak menguntungkan, meskipun pada segi lain justru menguntungkan. Ruginya lagi, Kepala Sekolah dan Pengawas (karena tuntutan administratif juga) kurang mendukung dikembangkannya inovasi-inovasi baru dalam pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Mungkin secara lisan mereka mendukung akan tetapi sistem yang berjalan tidak memungkinkan. Akibatnya, Proses Belajar-Mengajar didominasi oleh metode ceramah dengan acuan buku-buku teks yang sudah menjadi paket. Hal yang serupa juga terasa pada metode mengajar dan evaluasi yang digunakan guru. Kita bisa menuntut kepada guru-guru untuk melakukan inovasi, tetapi mereka segera berpikir, jika apa yang mereka lakukan tidak cocok dengan apa yang akan dihadapi siswa dalam ujian, Ebtanas, Sipenmaru, percumalah jadinya. Karena itu guru mengajar sesuai dengan apa yang akan ditanyakan dalam Ebta atau Sipenmaru. Soal-soal juga dibuat sesuai dengan format yang sudah ada. Guru tidak salah, malah secara terpuji mereka sudah berpihak kepada kepentingan siswa, meskipun tak selalu sejalan dengan bisikan hati nuraninya. Di sini tampak posisi guru serba terjepit, ”maju kena mundur kena”.

Ketiga : Hambatan Informasi. Dalam zaman yang serba maju ini, anak didik banyak dipengaruhi oleh berbagai kejadian di masyarakat. Dan di masyarakat itu sendiri banyak sekali informasi yang sampai kepada anak, baik yang positif maupun yang negatif. Pengalaman positif seperti kegiatan hobi dalam elektronik, pendakian gunung, penyelamatan lingkungan, dan lain-lain.ena komunikasi, informasi, dan berbagai interaksi dalam masyarakat dimana anak turut terlibat, maka banyak saja siswa ’lebih pintar’ dari guru. Dari sini muncul dilema dan krisis kewibawaan guru, bila guru tidak bisa menyesuaikan diri dan menambah pengetahuannya. Dalam keadaan demikian maka guru harus mampu ’membantu’ dirinya sendiri dan harus menerapkan pada dirinya life long education., belajar terus, belajar tiada henti. Kalau tidak, guru akan kehilangan wibawanya. Guru harus melakukan inovasi-inovasi dalam mengembangkan materi pembelajaran dan metode pembelajaran. Dengan kemampuannya mengembangkan berbagai media dan metode mengajar tentu akan membuat penampilannya lebih meyakinkan. Untuk itulah perlunya dikembangkan pendekatan keterampilan proses dan prinsip pembelajaran PAKEM untuk setiap mata pelajaran dan pembelajaran di kelas. Akan tetapi disadari sepenuhnya bahwa mewujudkan gagasan ini tidaklah mudah. Kecuali beberapa kendala seperti telah disinggung di atas, hal-hal lain yang juga menghambat upaya guru mengembangkan inovasi dalam pembelajaran adalah : (1) proses belajar-mengajar meminta waktu sangat banyak, (2) perlengkapan dan peralatan yang diperlukan dalam proses pembelajaran sangat terbatas, bahkan mungkin belum dimiliki, (3) biaya untuk inovasi sangat kurang, (4) tingkat pengetahuan siswa untuk menerima materi pelajaran sangat bervariasi, (5) jumlah siswa per kelas cukup besar, (6) minat siswa untuk mengikuti pelajaran masih rendah, (7) keterampilan guru dalam mengembangkan materi dan metode pembelajaran sangat terbatas, (8) pengalaman belajar guru –ketika masih sekolah- kurang bervariasi, terutama dalam pengembangan model pembelajaran.

Keempat : Hambatan Etis. Profesi guru akarnya adalah ’pengabdian diri’. Guru sebagai jabatan profesi merupakan pengabdian diri untuk me-’manusia’-kan anak. Profesi guru tidak sekedar lapangan kerja untuk mencari nafkah, tetapi merupakan pengabdian. Menjadi guru haruslah didasarkan pada nurani ”keterpanggilan”. Tidak semua orang ’boleh’ menjadi guru, kalau dia tidak merasa terpanggil. Dalam hal ini kita merasa ada sesuatu yang ”hilang”, yakni keterpanggilan menjadi guru. Sebagian remaja yang memasuki Sekolah Guru karena tidak mendapatkan sekolah lain. Bahkan sebagian mereka yang ’menjadi’ guru hanya karena tidak mendapat pekerjaan lain yang lebih menjanjikan. Hal ini erat hubungannya dengan soal orientasi sekolah seperti telah disinggung terdahulu. Rendahnya mutu in-put tentu sangat mempengaruhi mutu out-put, lebih-lebih jika pelaksanaan pendidikannya kurang intensif, serba tergesak-gesak.

CATATAN PENUTUP

Memang disadari, pengadaan guru dengan masa pendidikan yang relatif singkat tidak lepas dari desakan keadaan. Sekian juta anak harus tertampung di sekolah, dan untuk itu harus segera disediakan guru dalam jumlah yang tidak sedikit. Hal ini antara lain bisa disoroti dari usia para lulusan sekolah guru yang relatif muda. Bukankah usia mereka baru berkisar 20an tahun. Dalam usia semuda itu sulit bagi mereka untuk memiliki ”wisdom” atau kearifan seperti guru-guru senior. Ini tentu ada hubungannya dengan kebijakan menata lembaga pendidikan tenaga guru yang menghasilkan lulusan program diploma antara 1 – 3 tahun setelah tamat SLTA. Memang selama 1 – 3 tahun siswa/mahasiswa mendapat pelajaran yang secara teknis cukup memadai, tapi mereka belum memiliki ’wisdom’ sebagai seorang pendidik yang ”dewasa” sehingga dapat menampilkan sosok GURU yang dapat digugu dan ditiru. Mereka hanya memilik kemampuan skolastik dalam artian penguasaan materi saja. Apakah mereka juga memiliki kemampuan untuk menjadi ’guru’, masih perlu ditelaah. Sebab untuk penyiapan ”calon” guru, penguasaan materi harus terkait erat dengan tugas-tugas keguruan.

Memang, kemampuan kompetensi keguruan tidak datang dengan sendirinya. Tidak semua sarjana yang menguasai substansinya lalu otomatis bisa menguasai kemampuan mengajar dengan baik. Karena itu lalu ada konsep pemberian Akta Mengajar. Meskipun demikian, kemampuan seseorang memahami, menghayati, dan menampilkan Kemampuan Profesional Guru –yang dikenal dengan Sepuluh Kompetensi Dasar Kemampuan Profesional- tidaklah serta merta lahir bersamaan dengan dimilikinya Akta Mengajar yang merupakan SIM-nya guru. Masih perlu dipertanyakan lagi adalah: apakah pengembangan dan evaluasi Kelompok MKDK (Mata Kuliah Dasar Keguruan) sudah terkait dengan tugas-tugas keguruan, atau baru materi –dalam arti kemampuan skolastik- belaka.

Dalam kaitan ini, menjadi sangat, menjadi sangat pentinglah artinya program P P L (Praktik Pengalaman Lapangan) untuk calon guru, karena langsung berkaitan dengan performance aktualnya di lapangan, khususnya di kelas. Barangkali untuk PPL perlu disediakan waktu satu tahun (dua semester). Para mahasiswa, setelah ’kuliah’nya selesai, diwajibkan mengikuti PPL secara intensif dua semester penuh di sekolah (semacam magang, begitulah). Dengan cara begitu kemampuan seseorang untuk menjadi guru –dalam rangka quality control- bisa terlihat jelas. Sebagai analogi, kita ambil cara pendidikan ’calon dokter’. Begitu selesai kuliah –meraih gelar drs.med- calon dokter diwajibkan menjalani prektik ”dua tahun”, kemudian diuji lagi, dan barulah seseorang ’dapat’ menjadi dokter dan ’pantas’ menyandang titel dr. Selama ”magang” itu, ’calon dokter’ dibiasakan berperilaku seperti dokter, iklimnya –di rumah sakit- dibiasakan begitu, bahkan pakaiannya, tutur katanya, cara berjalannya, raut wajahnya, menyapa pasien, menyuruh perawat, dan segala macamnya, dibiasakan seperti ’dokter beneran’, karena ia disiapkan untuk menjadi dokter dan agar dapat memahami dan menghayati profesi dokter. Untuk ’calon guru’ cara begitu bukanlah sesuatu yang mustahil untuk dilakukan. Dengan PPL yang satu tahun itu banyak hal yang bisa dilakukan untuk mendandani calon guru agar mereka siap dan mencintai tugasnya, apalagi kalau mengingat bahwa mereka berasal dari lulusan SLTA non-keguruan, bukan SPG.

”Penampilan” sosok guru itu penting, dan sangat penting, karena hal itu mewakili keseluruhan dirinya di depan kelas, di mata anak didik, di mata kepala sekolah dan di mata masyarakat. Penampilan di kelas, bergaul di masyarakat, berperilaku dan menjalin interaksi dengan siswa, misalnya, sangat khas. Situasi pendidikan, dalam arti interaksi paedagogis, amatlah khusus sifat dan caranya. Dan karena semua itu sebenarnya tugas-tugas keguruan tidak bisa dilakukan oleh semua orang, apalagi sembarang orang.

Bahwa ada lulusan pendidikan non-keguruan yang mampu menjadi guru yang baik, itu benar dan fakta. Mungkin dia memang berbakat menjadi guru, meskipun ia tak mendapat pendidikan dan latihan yang khusus dan intensif untuk menjadi guru. Tapi, begitu kita bicara dalam jumlah besar, katakanlah puluhan ribu atau ratusan ribu, maka soalnya menjadi lain. Ia bukan lagi menyangkut masalah naluri dan bakat alami, atau pendidikan alamiah untuk menjadi guru, melainkan menuntut mekanisme sistem dan programatis yang menuntut adanya usaha yang terpadu, terukur dan terprogram dari semua institusi terkait secara bersama dan terkoordinasi.

Karena itu marilah kita bersama membenahi sekolah dan mendandani guru.

Banjarbaru, Januari 2008

AHMAD KUSASI

e-mail: kusasi@yahoo.com


SERTIFIKASI GURU DALAM JABATAN

SERTIFIKASI GURU DALAM JABATAN

Tahun 2007/2008

Pengertian.

· Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru,

· Sertifikasi bagi guru prajabatan dilakukan melalui pendidikan profesi di LPTK terakreditasi dan ditetapkan oleh pemerintah, dan diakhiri dengan Uji Kompetensi.

· Sertifikasi Guru Dalam Jabatan, dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 18 tahun 2007, yakni dilakukan dalam bentuk portofolio.

Dasar Hukum.

· Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,

· Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen,

· Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan,

· Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 18 tahun 2005 tentang Standar kualifikasi dan Kompetensi Pendidik,

· Fatwa/Pendapat Hukum Mmenteri Hukum dan Hak Azasi Manusia Nomor I.UM.01.02-253.

· Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 18 tahun 2007 tentang Sertifikasi bagi Guru Dalam Jabatan.

Latar Belakang.

· Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 Pasal 39 ayat (2) menyatakan bahwa Pendidik adalaj tenaga profesional.

· Pasal 42 mengamanatkan bahwa pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

· Pada pasal 28 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 dijelaskan bahwa kualifikasi akademik sebagai pendidik adalah tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik yang dibuktikan dengan ijazah dan/atau sertifikat keahlian yang relevan, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

· Undang-undang Nomor 14 tahun 2005pasal 11 ayat (1) mengamanatkan bahwa sertifikat pendidik yang dimaksud diberikan kepada guru yang telah memenuhi syarat,

· Pasal 11 ayat (2) menyatakan bahwa sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh pemerintah,

· Guru adalah pendidik profesional, untuk itu dipersyaratkan memiliki: (1) kualifikasi akademik minimal S1/D4 yang relevan, dan (2) menguasai kompetensi sebagai agen pembelajaran.

Kualifikasi akademik minimal S1/D4 yang relevan :

· Dibuktikan dengan ijazah dan persyaratan relevansi mengacu pada jenjang pendidikan dan mata pelajaran yang dibina,

· Misalnya, guru SD dipersyaratkan lulusan S1/D4 jurusan/program studi PGSD/Psikologi/Pendidikan lainya, sedangkan guru matematika SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK dipersyaratkan lulusan S1/D4 jurusan/program studi matematika atau pendidikan matematika,

· Dalam Permendiknas Nomor 18 tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan kalimat ”yang relevan” pada kualifikasi akademik ” d i h a p u s ”.

Menguasai kompetensi sebagai agen pembelajaran :

· Meliputi kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial.

· Dibuktikan dengan sertifikat pendidik,

· Sertifikat pendidik diberikan kepada guru yang lulus sertifikasi guru.

Tujuan Sertifikasi :

· Menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional,

· Meningkatkan proses dan mutu pendidikan, dan

· Meningkatkan profesionalisme guru.

Manfat Sertifikasi :

· Melindungi profesi guru dari praktik yang tidak kompeten, yang dapat merusak citra profesi guru,

· Melindungi masyarakat dari praktik-praktik pendidikan yang tidak berkualitas dan tidak profesional,

· Meningkatkan kesejahteraan guru.

Pelaksanan Sertifikasi.

· Sebagai dasar pelaksanan sertifikasi guru sebelum Peraturan Pemerintah (PP) tentang guru disahkan, dikeluarkanlah Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 18 tahun 2007,

· PP Nomor 18 tahun 2007 berlaku hanya untuk Guru Dalam Jabatan,

· Persyaratan peserta untuk mengikuti sertifikasi adalah guru dalam jabatan yang sudah S1/D4.

· Pasal 2 ayat (1) , sertifikasi guru dalam jabatan dilaksanakan melalui Uji Kompetensi,

· Pasal 2 ayat (2), Uji Kompetensi dilakukan dalam bentuk Penilaian Portofolio,

· Pasal 2 ayat (3), Penilaian Portofolio merupakan pengakuan atas pengalaman profesional guru dalam bentuk penilaian terhadap kumpulan dokumen yang mendeskripsikan 10 (sepuluh) komponen,

· Kesepuluh komponen itu adalah :

1. KUALIFIKASI AKADEMIK

2. PENDIDIKAN DAN PELATIHAN

3. PENGALAMAN MENGAJAR

4. PERENCANAAN DAN PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

5. PENILAIAN DARI ATASAN DAN PENGAWAS

6. PRESTASI AKADEMIK

7. KARYA PENGEMBANGAN PROFESI

8. KEIKUTSERTAAN DALAM FORUM ILMIAH

9. PENGALAMAN ORGANISASI DI BIDANG KEPENDIDIKAN DAN SOSIAL

10. PENGHARGAAN YANG RELEVAN DENGAN BIDANG PENDIDIKAN.

PROSEDUR SERTIFIKASI GURU DALAM JABATAN

· Guru dalam jabatan peserta sertifikasi menyusun dokumen portofolio dengan mengacu Pedoman Penyusunan Portofolio Guru,

· Dokumen Portofolio yang telah disusun kemudian diserahkan kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota untuk diteruskan kepada Rayon LPTK Penyelenggara sertifikasi untuk dinilai oleh asesor dari Rayon LPTK tersebut,

· Rayon LPTK Penyelenggara sertifikasi terdiri atas LPTK Induk dan sejumlah LPTK Mitra,

· Apabila hasil penilaian portofolio dapat mencapai angka minimal kelulusan, maka dinyatakan lulus dan memperoleh sert6ifikat pendidik,

· Apabila hasil penilaian portofolio belum mencapai angka minimal kelulusan maka berdasarkan hasil penilaian (skor) portofolio, rayon LPTK merekomendasikan alternatif: (1) melakukan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan profesi pendidik untuk melengkapi kekurangan portofolio, (2) mengikuti pendidikan dan pelatihan profesi guru (Diklat Profesi Guru = DPG) yang diakhiri dengan ujian; materi DPG mencakup empat kompetensi guru,

· Lama pelaksanaan DPG diatur oleh LPTK penyelenggara dengan memperhatikan skor hasil penilaian portofolio,

· Apabila peserta lulus ujian DPG maka peserta akan memperoleh Sertifikat Pendidik,

· Bila tidak lulus, peserta diberikan kesempatan ujian ulang dua kali, dengan tenggang waktu sekurang-kurangnya dua minggu. Apabila belum lulus juga, maka peserta diserahkan kembali ke Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.

Prinsip Sertifikasi.

1. dilaksanakan secara objektif, transparan, dan akuntabel,

2. berujung pada peningkatan mutu pendidikan nasional melalui peningkatan mutu guru dan kesejahteraan guru,

3. dilaksanakan sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku,

4. dilaksanakn secara terencana dan sistematis,

5. menghargai pengalaman kerja guru,

6. jumlah peserta sertifikasi guru ditetapkan oleh pemerintah

Penetapan Peserta.

· Sertifikasi guru dalam jabatan dapat diikuti oleh guru (dalam jabatan) yang telah memiliki kualifikasi akademik sarjana (S1) atau diploma empat (D4).

· Guru Non PNS yang dapat disertifikasi adalah yang berstatus sebagai ‘guru tetap’ pada satuan pendidikan tempat yang bersangkutan bertugas.

· Penentuan guru calon peserta sertifikasi guru dalam jabatan menggunakan sistem ranking, bukan berdasarkan seleksi melalui test.

· Prioritas calon peserta :

1. PENGALAMAN MENGAJAR

2. U S I A

3. PANGKAT/GOLONGAN

4. BEBAN MENGAJAR

5. TUGAS TAMBAHAN

6. PRESTASI

Proses penentuan calon peserta oleh Panitia Kabupaten/Kota.

· Menyusun daftar guru yang ada di kabupaten/kota dengan cara :

· Daftar urut guru dibuat per jenis satuan pendidikan (TK, SD, SLB, SMP, SMA, SMK). Daftar guru PNS dan guru Non PNS dipisahkan untuk masing-masing kabupaten/kota.

· Daftar guru yang ada di kabupaten/kota dibuat dengan urutan prioritas: masa kerja sebagai guru, usia, golongan/pangkat, beban mengajar, jabatan/tugas tambahan, dan prestasi kerja.

Setelah menyusun daftar urut guru dengan kriteria diatas, langkah berikutnya adalah menetapkan calon peserta sertifikasi guru sesuai dengan kuota yang diterima.

Calon yang sudah ditetapkan mengikuti sosialisasi sertifikasi guru yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota. Maksudnya agar guru peserta sertifikasi dapat memahami berbagai persyaratan untuk mengikuti sertifikasi.

Guru yang terseleksi sebagai peserta sertifikasi memperoleh : (1) Nomor Peserta, (2) Instrumen Portofolio, (3) Format A1 dan Format A2 dari Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.

Setelah segalanya siap, peserta segera mengikuti sertifikasi guru di bawah koordinasi dinas pendidikan kabupaten/kota.

Jika LULUS, peserta mendapat Sertifikat Pendidik.

Jika TIDAK LULUS, peserta memperoleh rekomendasi dari LPTK penyelenggara sertifikasi: (1) melakaukan berbagai kegiatan untuk melengkapi dokumentasi portofolio, atau (2) mengikuti Diklat Profesi Guru (DPG) di LPTK penyelenggara sertifikasi, (3) di akhir DPG dilakukan uji kompetensi.

Apabila ”tidak lulus” , guru diberi kesempatan mengikuti ujian ulang sampai dua kali. Bila tidak lulus juga, guru tersebut diserahkan ke Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.

STRATEGI DLM MENGHADAPI SERTIFIKASI GURU DALAM JABATAN

Langkah apa yang perlu disiapkan oleh seorang guru dalam menghadapi sertifikasi ?

1. Mengumpulkan berkas komponen portofolio sejak dini.

2. menyusun berkas sesuai dengan komponennya yang disusun dalam 10 buah map, dan pada masing-masing map diberi label sehingga memudahkan memasukkan berkas kedalam map yang benar.

3. melengkapi berkas yang masih kurang, misalnya: guru yang pernah membimbing siswa mengikuti loma sampai berhasil memperoleh kejuaraan, bukti fisik untuk kegiatan tersebut seperti: surat tugas, piagam/sertifikat dan lain-lainnya harus dilengkapi dan difotocopy serta disahkan.

4. setiap komponen utama, misalnya: keikutsertaan dalam forum ilmiah, pengalaman organisasi dlm bidang kependidikan dan sosial, penghargaan yang relevan dalam bidang pendidikan, tidak boleh NOL, maksudnya harus memiliki salah satu dari ketiga unsur ini.

5. tempatkanlah berkas kedalam portofolio sesuai dengan substansinya.

6. RPP dibuat memuat unsur-unsur yang dinilai sesuai dengan kriteria penilaian yang sesuai dengan rubrik penilaian RPP.

7. dalam menyusun protofolio, lampiran disusun berurutan (dan diberi kode) sesuai dengan naskah portofolio yang disusun’ lampiran pada setiap komponen hendaknya diberi sekat kertas warn agar asesor dapat bekerja dengan baik.

TERIMA KASIH

Banjarbaru, Februari 2008

Drs. AHMAD KUSASI

*Makalah Seminar Ikatan Widyaiswara Indonesia Propinsi Kalmantan Selatan di LPMP Kalimantan Selatan Banjarbaru

Rabu, 27 Februari 2008