Kamis, 28 Februari 2008

MEMBENAHI SEKOLAH KITA

MEMBENAHI SEKOLAH KITA

( Bagian Pertama dari Dua Tulisan)

Keadaan masa kini sudah sangat jauh sekali berubah dibandingkan dengan satu atau dua dasawarsa yang lampau. Maka pendidikan juga mengalami dan menghadapi masalah-masalah yang semakin rumit dan kompleks. Tekanan demografis, berupa derasnya arus siswa pendaftar di lingkungan pendidikan formal semakin meningkat pada setiap jenjang. Peningkatan jumlah siswa itu tak akan terbendung, seiring dengan aspirasi siswa dan orangtuanya tentang pendidikan yang ditempatkan pada sebuah proporsi baru. Pendidikan ibarat sebuah tangga sosial yang dicita-citakan, sebagai sebuah saluran hidup baru untuk mencapai taraf hidup yang lebih baik dan layak. Hasrat dan semangat ini bertumpu pada dunia pendidikan, sehingga posisi dan kompetensi pendidikan dalam alur kehidupan ini semakin menonjol. Orang ingin menempuh pendidikan dan memasuki sekolah tidak lain agar dapat hidup lebih baik, sekurang-kurangnya lepas dari wilayah derita yang selama ini terasa membelenggu. Kesemuanya itu memang tak lepas dari tujuan hidup yang serba pragmatis dan ekonomis.

SEKOLAH SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN

Di sela-sela perubahan yang semakin cepat, lembaga pendidikan tumbuh perlahan, bahkan seolah-olah bagai keong yang enggan bergerak, lamban menyesuaikan diri dan akan selalu tertinggal jauh di belakang. Kesemuanya itu memang kerkaitan di sekitar kata kunci: perubahan, adaptasi dan kesenjangan. Setiap kali ada perubahan maka yang diharapkan ialah terjadinya semacam keseimbangan baru melalui penyesuaian diri. Jika tidak, maka akan terjadi kesenjangan dan kegoncangan. Inilah peristiwa yang sifatnya menggejala, bahkan sebagai sifat hakiki dari semua fase kehidupan manusia. Tak terkecuali “pendidikan”.

Issu rendahnya mutu pendidikan, sekaligus mutu sekolah dan mutu guru, telah menjadi bahan pemikiran kita semua, menjadi masalah bagi kaum pendidik, orang tua, masyarakat dan pemerintah. Kita sedang mengejar suatu ketertinggalan yang amat jauh, dan dalam mengejar ketertinggalan itu kita menyadari bahwa perangkat-perangkat kita masih harus terus didandani.

Bahwa mutu sumber daya manusia Indonesia dikatakan kurang memuaskan, itu artinya, kita memiliki daya saing yang sangat lemah dibanding dengan negara-negara lain. Hal itu sesungguhnya resultante tiga lingkungan: keluarga, sekolah, dan masyarakat, karena pendidikan berlangsung dalam tiga lingkungan tersebut. Mutu rendah bukanlah semata-mata kesalahan pendidikan formal (sekolah), karena kita bersama bertanggung jawab untuk mengejar ketertinggalan, yakni ketertinggalan dari taraf tertentu yang dicita-citakan. Di negara manapun, memang pendidikan formal selalu ditempatkan pada posisi penting yang tidak menguntungkan. Padahal justru banyak masalah sesungguhnya akibat dari lingkungan ketiga yang jauh lebih besar daripada lingkungan pendidikan formal, yaitu masyarakat.

SEKOLAH DAN MASYARAKAT

Mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan tujuan utama kehidupan bernegara. Ini berarti bahwa pemerintah harus selalu berusaha agar seluruh warga bangsa ádalah warga negara yang cerdas dan terdidik. Kenyataan menunjukkan bahwa warga negara yang bodoh ádalah beban bagi negara yang sangat menghambat usaha pembangunan. Sebaliknya, warga negara yang pandai dan terdidik akan sangat berarti dalam membantu usaha pembangunan dirinya sendiri dan masyarakat atau bangsa secara keseluruhan.

Lebih konkrit lagi, Undang-undang Dasar Negara menyatakan bahwa seluruh warga negara didorong dan diberi kesempatan untuk memperoleh pendidikan, yang dikembangkan dengan suatu Sistem Pendidikan Nasional. Karena pentingnya, maka pendidikan harus mendapatkan prioritas utama dalam pembangunan, yang diwujudkan dalam penyediaan anggaran pembangunan. Idealnya minimal 20 % dari anggaran pendidikan berada di sektor pendidikan. Meskipun target ideal 20 % masih belum tercapai sepenuhnya, tetapi paling tidak sekarang kita sudah mulai melangkah ke arah itu. Dan bila tekad ini terus dipegang, maka lambat atau cepat target ideal itu akan tercapai. Insya Allah.

Meskipun pemerintah telah menampakkan itikad baik “political-will” dalam merencanakan dan menyusun anggaran pembangunan pendidikan, tetapi semua itu tidak akan banyak membuahkan hasil tanpa dukungan partisipasi seluruh warga masyarakat. Karena itu konsep dasar pendidikan adalah bahwa pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, orangtua dan masyarakat. Tanpa perpaduan ketiganya mustahillah usaha pendidikan yang memakan biaya besar akan berhasil dengan baik sesuai harapan bersama.

SEKOLAH SEBAGAI SUB-SISTEM

Sekolah mempunyai posisi dan fungsinya yang tidak bisa dipisahkan dengan elemen-elemen lainnya dalam keseluruhan sistem pendidikan nasional. Sebagai lembaga pendidikan formal, sekolah memiliki ketentuan, jenjang, isi, dan kedudukan tertentu dalam jalur birokrasi negara. Penyelenggaraan sekolah diatur dengan peraturan perundang-undangan resmi, baik mengenai statusnya, penjenjangan dan jenis-jenisnya, pengelolaan dan pembinaannya, penyelenggaraan administratif dan edukatifnya, dan yang lain-lainnya.

Dalam keseluruhan sistem pendidikan nasional, sekolah adalah suatu sub-sistem sebagai pelaksana mandat masyarakat. Uapaya mencerdaskan kehidupan bangsa dilaksanakan oleh sekolah. Sekolah mengembangkan sistem untuk membentuk pribadi-pribadi dengan kualifikasi tertentu. Untuk maksud itu maka sekolah memberikan pengetahuan, keterampilan dan sikap-sikap tertentu. Nilai-nilai yang diberikan oleh sekolah antara lain: pengetahuan dasar, orientasi lingkungan, universalisme, kebebasan intelektual, rasa harga diri dan partisipasi pembangunan. Dengan semua itu sekolah menjadi proses pemberian nilai tambah pribadi. Orang yang hanya tamat SD dengan yang tanat SLTA jauh berbeda nilai tambahnya. Apalagi dibandingkan dengan S1, S2, dan S3. Makin tinggi tingkat pendidikan tentu makin tinggi nilai tambahnya, dan lebih mampu berperan serta dalam proses pembangunan.

Sekolah dengan sistem dan cara yang dikembangkannya menjadikan kehadirannya sebagai sesuatu yang sangat berharga, sehingga setiap orang terundang hasratnya untuk bersekolah, dimanapun ia berada dan bagaimanapun keadaannya.

Sebenarnya, ada beberapa ”kelemahan” dari sistem sekolah yang sering mengganggu ’benak’ para pelaku pendidikan :

Pertama: Ketika seorang anak masuk sekolah, ia telah terlibat dalam sebuah sistem tertentu yang mengolah dan menempa dirinya menjadi lulusan dengan predikat dan kualitas tertentu, sesuai dengan tujuan institusional sekolah itu. Anak yang merupakan in-put bagi sekolah dengan kondisi dan latar belakang yang beragam, akan diolah dengan suatu sistem sehingga diharapkan menjadi out-put dengan standar yang relatif sama. Dengan demikian, tatkala siswa berada di sekolah, ia terlibat dalam proses seleksi yang ketat dan menghadapi persaingan yang cukup berat. Kemampuan dan perkembangan anak benar-benar diolah dan diuji oleh sistem sekolah. Karena peristiwa seleksi inilah makanya banyak anak yang tersisih. Makin lama dan makin tinggi sekolah, angka drop-out cenderung semakin besar. Pukulan drop-out ini akan semakin menyakitkan hati kalau dalam proses inovasi dan seleksi itu quality controlnya ”tidak pas” seperti sering dikeluhkan oleh beberapa pakar seperti Pak Andi Hakim dan Pak Habibi.

Kedua: Dalam berbagai pengkajian dan penelitian, telah terungkap bahwa sebab utama anak putus sekolah adalah alasan sosial-ekonomi, dan bukan intelektual-edukatif. Pengalaman keseharian di sekolah dan masyarakat sekitar menunjukkan bahwa faktor sosial-ekonomi merupakan faktor penyebab yang kuat terjadinya putus sekolah dan arus murid memasuki sekolah-sekolah yang lebih tinggi. Hanya anak dari keluarga yang mempunyai latar kehidupan dan kondisi sosial-ekonomi yang cukup kuat yang dapat menjalani sekolah dengan tenteram serta dapat mengenyam pendidikan lebih lama dan lebih tinggi. Anak-anak yang ’berada’ mempunyai banyak alasan dan kemungkinan untuk ”menang” dalam seleksi dan persaingan dengan anak-anak lain yang sosial-ekonominya lemah. Kekalahan ini menjadi semakin lengkap ketika ternyata ada anak yang potensial terpaksa rela menerima ’nasib’ karena ekonomi keluarganya lemah, sementara teman sekelasnya ”yang lain” meluncur mulus karena didorong oleh ’tangan-tangan kuat’. Apa boleh buat.

Ketiga: Akibat-akibat ekonomis ini merefleksi juga ke segi sosial. Karena biaya sekolah cukup besar maka makin tinggi tingkat sekolah makin sedikit orang yang dapat memasukinya, sehinggga makin tinggi tingkat pendidikan yang dicapai seseorang, ia akan mendapat harga sosial yang lebih tinggi pula. Sistem dan karakteristik yang berlaku di sekolah mengandung sifat elitis, sehingga tingkat pendidikan sering merangsang seseorang untuk ”merasa lebih” dan selalu ”ingin lebih”. Upaya untuk menghilangkan sifat elitis sekolah ini dilakukan dengan kebijakan pemerataan memperoleh kesempatan pendidikan dan kebijakan wajib belajar. Pemerintah berusaha membangun sekolah sebanyak mungkin dan memberi kesempatan kepada masyarakat untuk turut serta membangun sekolah. Akan tetapi pemerataan sering tidak disertai dengan pengaturan sistem sehinggga memperbesar drop-out. Hal ini menimbulkan kesan bahwa pemerataan mengabaikan peningkatan kemampuan. Apalagi kalau ditambah dengan pengelolaan sekolah yang berbau ”komersil”, atau menerima nasib sebagai ’anak tiri’ Semakin lengkaplah kesusahan dan semakin dalamlah kesenjangan antara kuantitas dan kualitas sekolah-sekolah kita.

Keempat: Kelemahan sistem sekolah juga tampak ketika para lulusannya mulai terjun ke tengah masyarakat memasuki lapangan kerja. Anak yang tidak diterima masuk ke dalam lembaga-lembaga sosial-ekonomi jauh lebih besar jumlahnya daripada yang berhasil. Hal ini jelas sekali kelihatan pada ’ramai’nya remaja-remaja lulusan sekolah menengah dan perguruan tinggi yang mengerubungi lowongan kerja begitu terbuka kesempatan atau ada penerimaan lapangan kerja yang sesuai dengan tingkat pendidikan. Penerimaan lulusan sekolah kedalam masyarakat ditentukan oleh masyarakat itu sendiri, bukan oleh sekolah. Masyarakat mempergunakan caranya sendiri dalam menerima tenaga kerja. Mekanisme dan kriteria serta seleksi untuk memilih dan menerima pegawai atau tenaga kerja pada lembaga-lembaga sosial-ekonomi tidaklah ditentukan oleh sistem pendidikan formal yang ada. Nilai tinggi sebagai lambang prestasi belajar yang diperoleh di sekolah dengan susah payah, ternyata tidak menjadi ukuran utama dalam penempatan kerja di masyarakat. Jika ada dua orang yang prestasinya berbeda, belum tentu yang lebih tinggi yang lebih diutamakan untuk diterima. Demikian juga, bila ada dua orang yang memiliki prestasi yang sama, belum tentu akan mendapat ’nasib’ yang sama pula untuk diterima dan diperlakukan di dalam masyarakat.

Inilah beberapa titik rawan yang dihadapi oleh sekolah, dan ini pulalah yang menimbulkan anggapan bahwa sekolah tidak dengan sendirinya menentukan posisi kemasyarakatan.

ORIENTASI SEKOLAH

Sistem sekolah dan sistem yang berlaku di masyarakat memberikan getaran yang kuat kepada sekolah dan siswa-siswa yang menjalaninya. Memperoleh posisi dalam masyarakat tampaknya menjadi orientasi yang pokok bagi sekolah. Orientasi posisional ini memberikan implikasi yang luas kepada sistem sekolah :

Pertama : Efek orientasi posisional mempengaruhi motivasi belajar. Jika anak melihat titik orientasi itu berada jauh dari jangkauannya, hal itu akan mengurangi motivasi belajar. Sebaliknya, motivasi belajar anak menjadi lebih besar ketika titik orientasi itu dirasakan dekat. Naik kelas, naik tingkat atau lulus ujian adalah saat-saat yang penting, yang dapat dianggap fase-fase yang makin mendekatkannya kepada titik orientasi. Maka anak baru giat belajar ketika mau ujian. Bahkan sangat mungkin muncul anggapan: pokoknya lulus.

Kedua : Orientasi posisional mempengaruhi pertimbangan ekonomis sekolah. Anak yang berasal dari keluarga dengan tingkat ekonomi yang kuat berambisi besar dan punya kegairahan yang kuat untuk mengejar titik orientasi yang lebih jauh dan lebih besar. Sebaliknya, anak yang berasal dari keluarga dengan kondisi ekonomi lemah harus tahu diri, bahwa orangtua mereka memiliki kemampuan yang lemah pula dalam membiayai sekolahnya. Karena itu mereka ’terpaksa’ memilih jarak yang pendek dan waktu yang singkat dalam mendapatkan titik orientasi sekolahnya. Soal berbakat atau tidak, itu adalah yang sekunder dalam memilih dan menentukan arah dan masa sekolah.

Ketiga : Orientasi posisional mempengaruhi dalam menilai prestise sekolah. Sekolah yang memberikan kemungkinan yang besar bagi lulusannya untuk mendapatkan kerja dan posisi dalam masyarakat menjadi disenangi dan dibanjiri oleh siswa-siswa yang ingin masuk. Beberapa sekolah mungkin menjadi favorit karena telah banyak para lulusannya menempati poisisi ”baik” dalam sistem dan struktur kemasyarakatan. Apalagi kalau pejabat yang menduduki posisi tertentu memberikan prioritas kepada para lulusan sekolah tertentu dengan prosedur dan cara tertentu pula. Dan itu sangat mungkin.

Bila ditelusuri lebih jauh, orientasi posisional ini merefleksi lebih dalam kepada struktur pendidikan yang lebih luas. Jumlah dan jenis pendidikan formal menjadi sangat banyak dan beragam. Sekolah bukan saja diselenggarakan oleh Departemen Pendidikan, akan tetapi nampaknya Departemen lain juga mambangun dan mengelola sekolahnya sendiri.

Kalau diingat bahwa Departemen ádalah lembaga administrartif dan lembaga politik masyarakat, maka penyelenggaraan sekolah-sekolah oleh depertemen tersebut tentu juga dilandasi oleh alasan ketenagaan dan alasan sosial-politis dalam penempatan alokasi tenaga dan posisi pada Departemen yang bersangkutan. Adalah cukup beralasan kalau penerimaan pegawai -bahkan juga banyak jabatan- di Departemen Dalam Negeri atau Pemerintah Daerah, para lulusan STPDN akan mendapat prioritas utama.

Erat hubungannya dengan orientasi sekolah ini, harga sosial dan penempatan posisi yang dihubungkan dengan tingkat pendidikan formal ini menimbulkan getaran yang kurang mengenakkan bagi jabatan guru. Guru SD dianggap lebih rendah daripada guru SMP. Dosen (guru pada PT) menjadi ‘lebih tinggi’ daripada guru SLTA, dan seterusnya. Apa memang begitu. Padahal, sistem sekolah kita secara langsung menjadikan ‘guru’ sebagai sandaran pokok dan sasaran pokok.

Banjarbaru, Januari 2008

AHMAD KUSASI

e-MAIL: kusasi@yahoo.com



MENDANDANI GURU KITA

(Bagian Kedua dari Dua Tulisan)

Guru ádalah mereka yang memang dipersiapkan berada di garis paling depan, yang setiap saat bertugas berinteraksi dengan murid. Tugas keguruan melambangkan pertemuan antar dua generasi –generasi tua dengan generasi muda- lambang kesinambungan masa lalu dengan masa depan. Gurulah yang diberi kepercayaan untuk menerapkan program kurikuler. Di tangan gurulah –bukan di tangan orang lain- program menjadi hidup, atau . . . . . justru mati.

GURU DAN PROSES BELAJAR MENGAJAR

Dengan segala kelemahan dan kekurangannya, sekolah harus ada dan harus terus jalan, karena kita telah bersepakat bahwa pengembangan sumber daya manusia sungguh amat penting untuk kelangsungan negara dan kelangsungan pembangunan. Dan pendidikan serta pengembangannya sambung menyambung dari pendidikan dasar terus SMP, SLTA dan seterusnya, merupakan human investment atau investasi masa depan yang paling menentukan. Konsekwensi sederhana dari jalan pemikiran ini adalah penyediaan tenaga guru yang baik amatlah penting karena guru merupakan tenaga pendidik terpenting dalam proses pendidikan di sekolah. Dan karena itu maka kehadiran guru di hadapan siswa tidak bisa digantikan sebulatnya dengan berbagai media pendidikan.

Sekolah adalah sebuah bangunan dengan segala peralatannya yang di dalamnya terjadi proses/interaksi belajar mengajar. Dan dalam proses interaksi itu guru adalah kuncinya. Dasar dan komponen interaksi belajar-mengajar di sekolah menurut Winarno Surachmad adalah : (1) ada tujuan yang jelas akan dicapai, (2) ada bahan/materi yang menjadi isi interaksi, (3) ada pelajar yang aktif mengalami, (4) ada guru yang melaksanakan/memfasilitasi, (5) ada metode tertentu yang dikembangkan untuk mencapai tujuan, (6) ada situasi yang subur, yang memungkinkan proses interaksi dapat berlangsung dengan baik, (7) ada penilaian terhadap proses dan hasil interaksi tersebut.

Untuk mencapai tujuan yang diharapkan dalam proses interaksi itu, masing-masing komponen ’harus’ saling merespon dan mempengaruhi antara yang satu dengan yang lain. Tugas guru adalah bagaimana mendesain dari masing-masing komponen agar tercipta proses belajar-mengajar. Dengan demikian guru selanjutnya akan dapat mengembangkan interaksi yang lebih dinamis untuk mencapai tujuan yang diharapkan dengan proses belajar-mengajar itu.

Tilikan terhadap proses belajar-mengajar didasari dengan suatu asumsi bahwa hasil belajar (product-variables) tidaklah ditentukan oleh siapa gurunya (presage-variables) atau siapa muridnya (contex-variables), melainkan tergantung kepada apa yang terjadi dengan guru serta muridnya (process-variables). Maka prestasi belajar tidaklah selalu tergantung kepada megahnya gedung sekolah, hebat dan lengkapnya alat, banyaknya buku pelajaran, melainkan tergantung kepada apa yang terjadi di dalam gedung yang megah itu, apa yang terjadi dengan alat-alat yang lengkap itu, serta apa yang terjadi dengan buku-buku pelajaran yang disediakan di sekolah itu. Ini berarti bahwa mutu pendidikan banyak tergantung pada kualitas guru dalam membimbing proses belajar-mengajar ketika berinteraksi dengan murid di dalam atau diluar lingkungan sekolah.

BEBERAPA KENDALA

Arah pendidikan kita menuju kepada demokratisasi. Kita menekankan segi kuantitas dalam pelayanan dan pemerataan kesempatan mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah yang dibangun oleh pemerintah. Karena penekanan yang kuat pada aspek pemerataan dan pelayanan kuantitatif maka akibatnya soal mutu cukup lama terabaikan. Soal kuantitas dan kualitas merupakan dua hal yang sering saling berbenturan dan dilematis, terutama dalam kondisi dan kemampuan negara yang masih sangat terbatas. Sejalan dengan itu, aspirasi pendidikan masyarakat meningkat, di tengah kuatnya tuntutan kualitas yang harus ditingkatkan.

Jumlah anak usia sekolah cukup besar sehingga diperlukan dana yang besar pula untuk menyediakan sarana dan prasarana. Belum lagi dihitung berapa besarnya tenaga yang perlu disiapkan untuk mengisi kekosongan dan kekurangan. Daerah nusantara yang luas dan terdiri dari beribu pulau yang bertebaran merupakan persoalan yang besar karena terbatasnya sarana komunikasi dan transportasi. Upaya peningkatan mutu pendidikan masih mendapat prioritas yang rendah dibanding dengan bidang-bidang lainnya yang sama-sama penting untuk digarap. Di samping itu, mendidik anak tidaklah didasari dan diukur sebagaimana pembangunan fisik dan ekonomi. Diperlukan waktu yang lama dan perhatian yang terus menerus untuk melihat proses dan keberhasilannya.

Di samping beberapa faktor di atas, sikap resistent guru-guru dalam mengadopsi dan mengadaptasi inovasi di bidang pendidikan dan pembelajaran juga ikut menentukan. Mereka begitu susah menerapkan pendekatan-pendekatan dan ’metode baru’ dalam pendidikan dan pembelajaran, meskipun mereka sudah dilatih. Soalnya terletak pada hambatan-hambatan profesional. Dan ini pun tak sederhana masalahnya. Pemecahannya pun tidak bisa ’tok cer’, tanpa kita pahami akar persoalannya. Faktor-faktor lingkungan, sosial ekonomi, budaya, dan lain-lain, tersangkut di dalamnya. Makin rumitlah jadinya.

Beberapa hambatan yang tampak dan terasa selama ini adalah, antara lain

Pertama : Hambatan Lingkungan. Seringkali guru berada dalam lingkungan yang kurang menguntungkan untuk bekerja secara serius. Betapapun mereka punya motivasi kuat untuk bekerja serius, jika lingkungan kurang menunjang, guru akan ikut hanyut juga. Sering upaya ‘kreatif’ yang dilakukan guru di sekolah tidak selalu didukung dan diimbangi oleh lingkungan sekitar yang tampaknya bertentangan dengan misi suci sekolah. Upaya guru bersusah payah menata hati, otak dan otot anak, akan sia-sia belaka kalau ternyata lingkungan merusaknya habis-habisan. Kasus kenakalan anak, perkelahian pelajar, dekadensi moral, anak yang terlibat kejahatan, pendangkalan agama, dan yang semacamnya ádalah produk lingkungan yang tidak mendidik. Lingkungan anak juga sering menghambat. Sumber-sumber belajar, termasuk bahan bacaan dan tontonan serta hiburan sangat terbatas, bahkan banyak yang cenderung ‘menyesatkan’ anak, baik dalam jangka pendek apalagi jangka panjang. Anak-anak kurang meminati surat kabar, majalah dan pustaka, dan bahkan jarang bersentuhan dengan sumber-sumber informasi lainnya. Lagi pula mereka mendapat kesulitan belajar di rumah karena orangtua kebanyakan tidak membantu. Tak ada yang mendukung, padahal anak harus naik kelas atau lulus. Orangtua mendesak guru, menekan keputusan-keputusan sekolah, baik secara langsung maupun tidak. Orangtua merasa gengsinya rendah jika anaknya tidak naik kelas. Ini berarti guru berada di tengah masalah yang dilematis. Karena itu kontrol mutu sukar dilaksanakan secara konsekwen dan konsisten.

Kedua : Hambatan Administratif. Guru-guru dipacu untuk menyelesaikan bahan pelajaran sesuai dengan tuntutan kurikulum. Jika lingkup program untuk suatu masa belajar tertentu itu tidak selesai, maka guru merasa punya utang, merasa berdosa, di samping tentu saja disalahkan oleh pimpinan sekolah. Akibatnya mereka nyaris tidak punya minat untuk sedikit kreatif dalam mengembangkan pendekatan-pendekatan baru dalam pembelajaran. Misalnya, suatu bahan yang dengan metode ceramah (bervariasi) cukup 1 jam pelajaran, tapi kalau menggunakan metode pemecahan masalah perlu waktu 3 jam pelajaran. Dari segi target penyelesaian bahan, jelas ini tidak menguntungkan, meskipun pada segi lain justru menguntungkan. Ruginya lagi, Kepala Sekolah dan Pengawas (karena tuntutan administratif juga) kurang mendukung dikembangkannya inovasi-inovasi baru dalam pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Mungkin secara lisan mereka mendukung akan tetapi sistem yang berjalan tidak memungkinkan. Akibatnya, Proses Belajar-Mengajar didominasi oleh metode ceramah dengan acuan buku-buku teks yang sudah menjadi paket. Hal yang serupa juga terasa pada metode mengajar dan evaluasi yang digunakan guru. Kita bisa menuntut kepada guru-guru untuk melakukan inovasi, tetapi mereka segera berpikir, jika apa yang mereka lakukan tidak cocok dengan apa yang akan dihadapi siswa dalam ujian, Ebtanas, Sipenmaru, percumalah jadinya. Karena itu guru mengajar sesuai dengan apa yang akan ditanyakan dalam Ebta atau Sipenmaru. Soal-soal juga dibuat sesuai dengan format yang sudah ada. Guru tidak salah, malah secara terpuji mereka sudah berpihak kepada kepentingan siswa, meskipun tak selalu sejalan dengan bisikan hati nuraninya. Di sini tampak posisi guru serba terjepit, ”maju kena mundur kena”.

Ketiga : Hambatan Informasi. Dalam zaman yang serba maju ini, anak didik banyak dipengaruhi oleh berbagai kejadian di masyarakat. Dan di masyarakat itu sendiri banyak sekali informasi yang sampai kepada anak, baik yang positif maupun yang negatif. Pengalaman positif seperti kegiatan hobi dalam elektronik, pendakian gunung, penyelamatan lingkungan, dan lain-lain.ena komunikasi, informasi, dan berbagai interaksi dalam masyarakat dimana anak turut terlibat, maka banyak saja siswa ’lebih pintar’ dari guru. Dari sini muncul dilema dan krisis kewibawaan guru, bila guru tidak bisa menyesuaikan diri dan menambah pengetahuannya. Dalam keadaan demikian maka guru harus mampu ’membantu’ dirinya sendiri dan harus menerapkan pada dirinya life long education., belajar terus, belajar tiada henti. Kalau tidak, guru akan kehilangan wibawanya. Guru harus melakukan inovasi-inovasi dalam mengembangkan materi pembelajaran dan metode pembelajaran. Dengan kemampuannya mengembangkan berbagai media dan metode mengajar tentu akan membuat penampilannya lebih meyakinkan. Untuk itulah perlunya dikembangkan pendekatan keterampilan proses dan prinsip pembelajaran PAKEM untuk setiap mata pelajaran dan pembelajaran di kelas. Akan tetapi disadari sepenuhnya bahwa mewujudkan gagasan ini tidaklah mudah. Kecuali beberapa kendala seperti telah disinggung di atas, hal-hal lain yang juga menghambat upaya guru mengembangkan inovasi dalam pembelajaran adalah : (1) proses belajar-mengajar meminta waktu sangat banyak, (2) perlengkapan dan peralatan yang diperlukan dalam proses pembelajaran sangat terbatas, bahkan mungkin belum dimiliki, (3) biaya untuk inovasi sangat kurang, (4) tingkat pengetahuan siswa untuk menerima materi pelajaran sangat bervariasi, (5) jumlah siswa per kelas cukup besar, (6) minat siswa untuk mengikuti pelajaran masih rendah, (7) keterampilan guru dalam mengembangkan materi dan metode pembelajaran sangat terbatas, (8) pengalaman belajar guru –ketika masih sekolah- kurang bervariasi, terutama dalam pengembangan model pembelajaran.

Keempat : Hambatan Etis. Profesi guru akarnya adalah ’pengabdian diri’. Guru sebagai jabatan profesi merupakan pengabdian diri untuk me-’manusia’-kan anak. Profesi guru tidak sekedar lapangan kerja untuk mencari nafkah, tetapi merupakan pengabdian. Menjadi guru haruslah didasarkan pada nurani ”keterpanggilan”. Tidak semua orang ’boleh’ menjadi guru, kalau dia tidak merasa terpanggil. Dalam hal ini kita merasa ada sesuatu yang ”hilang”, yakni keterpanggilan menjadi guru. Sebagian remaja yang memasuki Sekolah Guru karena tidak mendapatkan sekolah lain. Bahkan sebagian mereka yang ’menjadi’ guru hanya karena tidak mendapat pekerjaan lain yang lebih menjanjikan. Hal ini erat hubungannya dengan soal orientasi sekolah seperti telah disinggung terdahulu. Rendahnya mutu in-put tentu sangat mempengaruhi mutu out-put, lebih-lebih jika pelaksanaan pendidikannya kurang intensif, serba tergesak-gesak.

CATATAN PENUTUP

Memang disadari, pengadaan guru dengan masa pendidikan yang relatif singkat tidak lepas dari desakan keadaan. Sekian juta anak harus tertampung di sekolah, dan untuk itu harus segera disediakan guru dalam jumlah yang tidak sedikit. Hal ini antara lain bisa disoroti dari usia para lulusan sekolah guru yang relatif muda. Bukankah usia mereka baru berkisar 20an tahun. Dalam usia semuda itu sulit bagi mereka untuk memiliki ”wisdom” atau kearifan seperti guru-guru senior. Ini tentu ada hubungannya dengan kebijakan menata lembaga pendidikan tenaga guru yang menghasilkan lulusan program diploma antara 1 – 3 tahun setelah tamat SLTA. Memang selama 1 – 3 tahun siswa/mahasiswa mendapat pelajaran yang secara teknis cukup memadai, tapi mereka belum memiliki ’wisdom’ sebagai seorang pendidik yang ”dewasa” sehingga dapat menampilkan sosok GURU yang dapat digugu dan ditiru. Mereka hanya memilik kemampuan skolastik dalam artian penguasaan materi saja. Apakah mereka juga memiliki kemampuan untuk menjadi ’guru’, masih perlu ditelaah. Sebab untuk penyiapan ”calon” guru, penguasaan materi harus terkait erat dengan tugas-tugas keguruan.

Memang, kemampuan kompetensi keguruan tidak datang dengan sendirinya. Tidak semua sarjana yang menguasai substansinya lalu otomatis bisa menguasai kemampuan mengajar dengan baik. Karena itu lalu ada konsep pemberian Akta Mengajar. Meskipun demikian, kemampuan seseorang memahami, menghayati, dan menampilkan Kemampuan Profesional Guru –yang dikenal dengan Sepuluh Kompetensi Dasar Kemampuan Profesional- tidaklah serta merta lahir bersamaan dengan dimilikinya Akta Mengajar yang merupakan SIM-nya guru. Masih perlu dipertanyakan lagi adalah: apakah pengembangan dan evaluasi Kelompok MKDK (Mata Kuliah Dasar Keguruan) sudah terkait dengan tugas-tugas keguruan, atau baru materi –dalam arti kemampuan skolastik- belaka.

Dalam kaitan ini, menjadi sangat, menjadi sangat pentinglah artinya program P P L (Praktik Pengalaman Lapangan) untuk calon guru, karena langsung berkaitan dengan performance aktualnya di lapangan, khususnya di kelas. Barangkali untuk PPL perlu disediakan waktu satu tahun (dua semester). Para mahasiswa, setelah ’kuliah’nya selesai, diwajibkan mengikuti PPL secara intensif dua semester penuh di sekolah (semacam magang, begitulah). Dengan cara begitu kemampuan seseorang untuk menjadi guru –dalam rangka quality control- bisa terlihat jelas. Sebagai analogi, kita ambil cara pendidikan ’calon dokter’. Begitu selesai kuliah –meraih gelar drs.med- calon dokter diwajibkan menjalani prektik ”dua tahun”, kemudian diuji lagi, dan barulah seseorang ’dapat’ menjadi dokter dan ’pantas’ menyandang titel dr. Selama ”magang” itu, ’calon dokter’ dibiasakan berperilaku seperti dokter, iklimnya –di rumah sakit- dibiasakan begitu, bahkan pakaiannya, tutur katanya, cara berjalannya, raut wajahnya, menyapa pasien, menyuruh perawat, dan segala macamnya, dibiasakan seperti ’dokter beneran’, karena ia disiapkan untuk menjadi dokter dan agar dapat memahami dan menghayati profesi dokter. Untuk ’calon guru’ cara begitu bukanlah sesuatu yang mustahil untuk dilakukan. Dengan PPL yang satu tahun itu banyak hal yang bisa dilakukan untuk mendandani calon guru agar mereka siap dan mencintai tugasnya, apalagi kalau mengingat bahwa mereka berasal dari lulusan SLTA non-keguruan, bukan SPG.

”Penampilan” sosok guru itu penting, dan sangat penting, karena hal itu mewakili keseluruhan dirinya di depan kelas, di mata anak didik, di mata kepala sekolah dan di mata masyarakat. Penampilan di kelas, bergaul di masyarakat, berperilaku dan menjalin interaksi dengan siswa, misalnya, sangat khas. Situasi pendidikan, dalam arti interaksi paedagogis, amatlah khusus sifat dan caranya. Dan karena semua itu sebenarnya tugas-tugas keguruan tidak bisa dilakukan oleh semua orang, apalagi sembarang orang.

Bahwa ada lulusan pendidikan non-keguruan yang mampu menjadi guru yang baik, itu benar dan fakta. Mungkin dia memang berbakat menjadi guru, meskipun ia tak mendapat pendidikan dan latihan yang khusus dan intensif untuk menjadi guru. Tapi, begitu kita bicara dalam jumlah besar, katakanlah puluhan ribu atau ratusan ribu, maka soalnya menjadi lain. Ia bukan lagi menyangkut masalah naluri dan bakat alami, atau pendidikan alamiah untuk menjadi guru, melainkan menuntut mekanisme sistem dan programatis yang menuntut adanya usaha yang terpadu, terukur dan terprogram dari semua institusi terkait secara bersama dan terkoordinasi.

Karena itu marilah kita bersama membenahi sekolah dan mendandani guru.

Banjarbaru, Januari 2008

AHMAD KUSASI

e-mail: kusasi@yahoo.com


Tidak ada komentar: