Kamis, 03 April 2008

CINTA RASUL

NABI BARU

KITA MEMANG TAK PERLU

sebuah catatan di akhir maulid

Muhammad SAW, sebagai manusia lainya, juga harus wafat. Setelah beliau wafat, haruskah manusia kembali menjadi kafir ?

Dalam perkembangan dunia yang semakin meju dan rumit ini, apa tidakkah kita memerlukan “nabi baru” dengan ajaran-ajaran yang juga baru ?

Kedua pertanyaan ini rasanya wajar dikemukakan sebelum kita mengakhiri dan meninggalkan bulan Maulid.

Dalam salah satu bagian bukunya (Pergolakan Pemikiran Islam) alm. Ahmad Wahib mengungkapkan: ”Seandainya Nabi Muhammad SAW hadir dalam kehidupan dunia sekarang, barangkali beliau akan banyak sekali merubah hadits-hadits yang telah beliau ucapkan dahulu”.

Disamping itu, dekade demi dekade selalu saja ada orang yang mengaku nabi (mengaku menerima wahyu) dengan membawa ajaran-ajaran baru yang ”beda” dengan ajaran yang sudah ada. Dan lagi pula yang menjadi pengikutnya banyak.

Memang, inilah hal yang kadang mengundang renungan bagi kita. Muhammad Rasulullah SAW diutus ketengah manusia sebagai Penghulu sekalian Rasul (sayyidil-mursalin) dan Penutup sekalian Nabi (khataman-nabiyyin). Penetapan yang mutlak Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul Terakhir mengandung makna bahwa tidak ada lagi nabi dan rasul ”baru” sesudah beliau. Dan tidak ada lagi ”ajaran” baru yang dengan dan atas nama wahyu.

Sekurang-kurangnya ada tiga hal yang mendasari konsep Nabi Terakhir ini. Pertama: Muhammad SAW adalah Rasul Penutup. Memang kehadiran Rasul bukan cuma untuk menerima dan menyampaikan wahyu. Kehadiran Rasul adalah bagian yang tak terpisahkan dari Tuhan dan Agama itu sendiri. Adalah sangat menarik untuk mengikuti pikiran Ali Shariati tentang masalah ini. Ia mengajukan perbandingan sosiologis kehadiran Kaisar, Filosof, dan Rasul. Kaisar digambarkan sebagai sebuah wajah yang kasar, bengis dan selalu siap dengan pedang telanjang. Gambaran filosof agak berbeda, berpandangan jernih, terpelajar dan terhormat. Ia bergairah untuk memahami kebenaran alam semesta, karena itu sering melahirkan pikiran-pikiran yang ”ganjil”. Tetapi bisa juga seorang filosof adalah menifestasi kehadiran kaisar, berada dalam kelompok dan sistem istana, serta mengambil jarak dengan rakyat jelata. Adapun ’Rasul’ tampil dengan wajah yang lain sama sekali. Akrab dan bersahabat dan lebih mengungkapkan kesetiaan kepada kebenaran dan keikhlasan, daripada keluarbiasaan dan kekuasaan. Merekalah penguasa hati tanpa penentang, dan mereka berasal dari tingkat bawah, kelas akar rumput (grass-root level). Demikianlah Ibrahim, anak tukang batu, muncul dengan kapak sebagai simbol penentangan terhadap dominasi agama berhala. Musa dengan baju compang-camping dan memegang tongkat di tangan, muncul menentang Fir’aun. Isa bin Maryam, pemuda yang kesepian dan tanpa status sosial, mengumumkan perang dengan Roma. Dan Muhammad SAW anak yatim piatu, yang buta huruf, penggembala domba, tampil menyeru dan menuntun umat menuju kepada kemenangan dan kebahagiaan yang sejati.

Dari semua itu, Muhammad SAW adalah puncaknya sekalian rasul dan penutup sekalian nabi. Sebagai Rasul Penutup, Muhammad SAW diutus untuk seluruh umat manusia. Rasul-rasul yang lain sebelum beliau hanyalah ”nabi lokal” untuk kelompok umat tertentu saja. Hud as. Diutus untuk kaum ’Aad, Syu’aib diutus untuk kaum Madyan, Shaleh as. Diutus untuk kaum Tsaamud, Musa as. Diutus untuk Bani Isra’il. Mereka diutus khusus untuk tiap kelompok (kaum), karena antara satu kelompok dengan kelompok yang lain belum terbentang garis-hubung yang mempertemukan dan memperkenalkan mereka, sehingga seorang Rasul tidak mungkin diutus untuk berbagai kaum yang terpencar dan tidak saling bertemu. Lain halnya dengan Muhammad SAW. Pada masa kehidupan beliau hubungan antar bangsa dan negara serta benua telah terbentang jauh. Antara Arab, Spanyol dan Cina sudah terjalin suatu hubungan dagang dan kebudayaan. Negeri Cina sudah dikenal oleh Muhammad SAW seperti terlihat dalam sabda beliau, ”Tuntutlah ilmu walau (sampai) ke negeri Cina”. Dalam suasana dan sarana seperti ini sudah barang tentu suatu ajaran yang muncul di suatu bagian negeri akan dapat merambat dan mengembang samapai ke bagian bumi yang lain, makin lama makin cepat.

Kedua: Wahyu dari Allah sudah sempurna di turunkan ke tangan Muhammad SAW. Sempurna dalam artian cukup untuk jadi pegangan, tak kurang suatu apa, baik yang termaktub dalam Al-Qur’an maupun melaluiSunnah Rasul. Asalkan kita berpegang teguh kepada keduanya, niscaya tidak akan sesat selamanya, begitu diwasiatkan oleh Baginda Rasul sebelum beliau wafat. Pernyataan ”sempurna” mengandung arti bahwa ’agama’ yang telah ada mampu berhadapan dengan berbagai aliran pikiran, mampu bertahan dalam segala zaman dan keadaan. Disamping itu, dalam upaya menyampaikan wahyu, Muhammad SAW berbeda dengan Rasul-rasul yang lain. Para Rasul biasanya menggunakan mukjizat, berupa kekuatan supra-natural, untuk menanamkan kepercayan umatnya terhadap ajaran-ajaran yang disampaikan. Musa as. dengan kesaktian ’tongkat’nya, Sulaiman as. dengan ilmu dan kerajaannya, dan Isa as. dapat menyembuhkan setiap penyakit, bahkan dapat menghidupkan orang yang sudah mati. Muhammad SAW berbeda. Beliau berusaha untuk tidak menggunakan ’kekuatan’ itu. Bahkan Muhammad SAW menolak untuk menggunakanya ketika terjadi peristiwa hijrah ke Thaif. Jibril as. menawarkan diri untuk menghancurkan masyarakat Thaif dengan sekali gebrak. Muhammad SAW malah menjawab, ”Jangan ya Jibril. Mereka menolakku sekarang, tapi siapa tahu anak cucu mereka nanti akan sadar dan mau menerima Islam”. Itulah Muhammad SAW seorang Rasul yang percaya pada dialog dan kebenaran yang dibawa beliau. Beliau hanya membawa ’satu mukjizat’ besar, yaitu Al-Qur’an. Dengan demikian Islam yang dibawa oleh Muhammad SAW muncul sebagai suatu agama yang sempurna, dewasa, dan terbuka.

Ketiga: Nabi baru sesudah Muhammad SAW untuk zaman sekarang dan juga yang akan datang tidak diperlukan lagi, karena ”Ulama dari umatku sudah setingkat dengan nabi Bani Israil” begitu ditegaskan oleh Rasulullah. Dan beliau juga bersabda, ”Ulama itu pewaris para Nabi”. Untuk menjaga keselamatan hidup dan menghadapi segala bentuk tantangan dan rintangan dalam perjalanan di dunia ini, Rasul cukup meninggalkan senjata pusaka yaitu Al-Qur’an dan Sunnah-Rasul, sedangkan ”Ulama” adalah Pewaris Para Nabi. Al-Qur’an dan as-Sunnah adalah dua senjata pusaka yang sakti, sedang Ulama adalah bagai ’jagoan’ yang pandai menggunakan senjata itu dan menguasai/mewarisi jurus-jurus yang diajarkan oleh Rasul Junjungan. Oleh karena itu, jika kita ingin memahami dan mengamalkan dengan baik dan benar isi kandungan dan nilai-nilai Al-Qur’an dan as-Sunnah, sepantasnyalah beklajar dan berguru kepada ’Ulama’. Tidak boleh asal ambil dan asal pakai semaunya tanpa pengetahuan dan keterampilan yang memadai. Tidak asal pakai, sebab salah-salah bisa senjata makan tuan. Karena itulah wanti-wanti Rasulullah bersabda, ”Belajarlah dengan ’guru’, jika anda belajar tidak dengan guru maka iblis lah gurunya”.

Yang juga penting untuk diperbincangkan adalah pengertian yang terkandung dari kata ”ulama” itu sendiri. Ulama berarti orang yang berilmu. Makna ini mengandung dikhotomi yang sangat kuat, ’ulama’ di satu segi dan ’cendekiawan’ disisi lainya. Dalam beberapa hal tampak adanya perbedaan antara ulama dengan cendekiawan. ’Ulama’ adalah figur yang menguasai banyak tentang ilmu-ilmu ”agama”, tafsir, hadits, fiqih, ushul-fiqih, dan sebagainya. Adapun cendekiawan adalah tokoh yang memiliki keahlian dalam ilmu-ilmu ”dunia”, ekonomi, sosiologi, antropologi, dan sebagainya. Selain itu, ada segi lain lagi yang tampaknya berbeda, ’ulama’ makin dalam ilmunya menjadi makin ”tawadhu”, karena itu sering dikatakan ilmunya ’dalam’- jauh ke bawah. Setiap selesai berbicara tentang fiqih sebagai bidang keahliannya yang menonjol, Imam Syafi’e selalu berkata, ”Ini adalah ijtihadku semata, jika ada pendapat lain yang lebih benar, itulah yang paling patut untuk diikuti”. Sedangkan cendekiawan -maaf, tidak semua- makin tinggi ilmunya menjadi makin besar kepalanya, karena itu sering dikatakan ilmunya ’tinggi’- jauh ke atas. Ia merasa pendapatnyalah yang paling benar, orang lain salah melulu. Orang seperti ini biasanya menghadapi orang lain selalu melemparkan hujatan tetapi tak pernah memberi solusi.

Dalam keadaan yang berbeda banyak, ulama dan cendekiawan mempunyai kedudukan, peran dan tanggung jawab yang sama dalam upaya pembangunan dan pembinaan bangsa membentuk manusia seutuhnya dan masyarakat seluruhnya. Idealnya memang ’ulama’ dan ’cendekiawan’ menyatu dalam satu tubuh dan satu kepala. Akan tetapi di zaman seperti sekarang ini hal itu tidak mungkin. Karena itu yang diperlukan sekarang adalah adanya ”jembatan” untuk mempertemukan keduanya. Untuk itu pihak ”umara” adalah pihak yang berkepentingan melakukan hal itu, membangun jembatan atau menjadi jembatan itu sendiri, agar kehidupan berjalan lancar, aman dan nyaman.

Dengan persepsi inilah barang kali kita dapat menangkap makna sabda Rasulullah Muhammad SAW,

”Di tengah umat ini ada dua kelompok, yang apabila kedua kelompok ini baik maka akan baiklah seluruh umat, dan apabila kedua kelompok ini rusak, pastilah rusak pula umat ini secara keseluruhan, mereka itu adalah ’ulama’ dan ’umara’.

Banjarbaru, R.awwal 1428 H / April 2008
Ahmad Kusasi

Tidak ada komentar: