Minggu, 09 Maret 2008

DICARI GURU UNTUK SEKOLAH DASAR

DICARI: CALON GURU UNTUK SEKOLAH DASAR

PENGANTAR

Soal rendahnya mutu pendidikan sudah terlalu banyak dibicarakan. Hal ini tidak usah diperdebatkan lagi. Dan memang bukan untuk sekedar diperdebatkan. Yang perlu dipikirkan dan diusahakan bersama adalah bagaimana caranya mengangkat mutu pendidikan yang dikatakan ’terpuruk’ itu.

Dalam kehidupan di masyarakat hidup berbagai pandangan/anggapan/persepsi yang nadanya terasa sumbang bagi pelaku-pelaku pendidikan, terutama guru-guru yang diambung sebagai ’pahlawan’ tapi dianggap tidak berjasa sehingga populer dengan istilah pahlawan tanpa tanda jasa. Yang Pertama: Apabila ada anak yang berhasil, sukses, berprestasi, menjadi juara, orangtuanya akan tepuk dada, ”siapa dulu bapak/ibunya”. Tetapi bila ada anak yang terpuruk, gagal, tidak berhasil naik/lulus, telunjuk tertuding ke muka guru, ”bagaimana sih guru mengajar”, atau ”inilah, kalau guru tidak profesional”. Yang Kedua: Sekolah Dasar (SD) adalah sekolah rendah. Rendah dalam status, rendah dalam tingkatan, dan rendah dalam penghargaan. Setiap orangtua bersedia menyumbang banyak-banyak untuk SMA atau Perguruan Tinggi. Adapun untuk SD, menghadiri rapat sekolah setahun sekali saja banyak yang malas. Bahkan, (dulu) tunjangan fungsional guru diukur berdasarkan jenjang sekolah, dan guru SD mendapat tunjangan yang paling sedikit.

Menyadari dampak negatif dari anggapan tersebut kita berusaha untuk menata dengan baik Sekolah Dasar dan berusaha terus menerus meningkatkan profesionalisme guru-gurunya.

SEKOLAH DASAR, DASARNYA SEKOLAH

Ketika mulai berbicara tentang ”rendahnya mutu pendidikan” itu berarti rendahnya mutu sekolah, karena sesungguhnya mutu pendidikan muncul dari sekolah-sekolah yang bermutu. Ketika disinggung tentang mutu sekolah maka yang muncul adalah logika apologetik begini: Ketika muncul fenomena banyaknya sarjana pengangguran (pengangguran intelek) orang akan mengatakan bahwa Perguruan Tinggi yang belajar di dalamnya mengeluarkan biaya banyak ternyata menghasilkan sarjana yang tak bisa apa-apa, bukannya sarjana yang apa saja bisa. Orang Perguruan Tinggi akan membalas: Habis, kami juga menerima dari lulusan SLTA yang berkualitas rendah. Pengelola SLTA tentu tak mau kalah, mereka akan berkata: Memang dari SLTPnya sudah begitu. Nah, orang-orang SLTP akan melempar tuduhan kepada SD. Adapun guru-guru SD mau melempar kemana. Guru-guru SD mau bilang apa.

Ini hanyalah sebuah illuistrasi yang akstreem, abstrak, dan cuma guyon. Tanpa bermaksud untuk menyalahkan siapa-siapa, saya hanya ingin mengatakan bahwa Sekolah Dasar (SD) adalah sekolah yang Dasar, tempat bertumpu untuk anak meraih prestasi di sekolah-sekolah jenjang berikutnya. Apabila penataan dan pembentukan di dasar baik dan mantap, tentu menjadi ’mudah’ bagi anak untuk meraih keberhasilan di jenjang berikutnya. Akan tetapi apabila dasar ini dibengkalaikan atau terbengkalai maka mudahlah ditebak apa yang akan diperoleh di jenjang sekolah yang lebih tinggi, yaitu: tidak ada prestasi apa-apa.

Ada satu issue yang layak untuk kita perhatikan dan cermati. Kita semua tahu dan menyadari sepenuhnya bahwa ’mutu pendidikan’ kita jauh tertinggal dibanding dengan tetangga dan sahabat kita di Asean, Apalagi dibanding dengan negara-negara lain yang jauh lebih maju. Dan –issue itu mengatakan- penyumbang terbesar rendahnya mutu pendidikan/sekolah kita itu adalah Sekolah Dasar. Hal ini terjadi karena SD tersebar sampai ke pelosok-pelosok negeri, dari pinggir-pinggir laut sampai ke puncak-puncak gunung. Ditambah lagi, SD adalah sekolah yang gurunya tidak merata dan mutunyapun tidak merata, makin jauh dari pusat kota, makin kurang gurunya dan makin rendah mutunya. Apalagi di SD berlaku sistem Guru Kelas, artinya pembelajaran dan penyelenggaraan pendidikan di kelas sepenunhnya dipegang oleh satu orang guru. Se”sakti” apapun guru SD, kalau harus menangani berbagai mata pelajaran dalam kesempatan yang bersamaan tentu repot juga. Lebih dari itu, ’repot’nya guru akan sangat mempengaruhi ’raport’ anak, sesuatu yang sangat tidak mengenakkan.

PEMBELAJARAN DI SEKOLAH DASAR

Sebagai sekolah pertama yang dimasuki oleh anak, maka disinilah ia mendapatkan pengalaman pertama bagaimana belajar, bersosial, beretika, dan sebagainya dalam sebuah sekolah. Sebagai ’pengalaman pertama’ tentulah akan memberikan kesan yang kuat dan sangat berarti bagi seseorang dalam kehidupan ini. Lebih dari itu, iklim/kultur, pembiasaan, pembelajaran, pendidikan, pergaulan, yang selama 6 tahun terus menerus menyelimuti kehidupan, niscaya akan dapat membentuk karakter seseorang. Apalagi ”seseorang” itu adalah sang kertas putih yang berada dalam masa peka dan masa pertumbuhan yang sangat pesat. Tak ayal lagi, pembiasaan dan pendidikan Sekolah Dasar akan mewarnai karakter anak secara signifikan dan permanen.

Bertumpu pada assumsi diatas, maka sangat beralasan kalau dikatakan bahwa Sekolah Dasar adalah tempat meletakkan dasar-dasar bagi anak dalam hal bersekolah dan menjadi dasar baginya untuk menjangkau sekolah selanjutnya. Manakala di dasar anak sudah ’baik dan benar’ maka untuk selanjutnya dengan penanganan yang ’bagus’ tentu yang baik akan bertambah baik dan yang benar akan semakin benar. Sebaliknya, jika di dasar anak sudah ’rusak dan salah’ maka untuk selanjutnya tentu sangatlah sukar baginya untuk mengukir prestasi atau mengembangkan potensi dan kreativitas yang memadai.

Sebagai dasar utama untuk menjadi anak yang ’terdidik’, agar dapat menjadi Anak Sekolahan –seperti Si Doel- maka di SD sudah selayaknyalah diberikan dasar-dasar yang kuat agar anak punya kemampuan MEMBACA, MENULIS dan BERHITUNG yang dikenal dengan istilah 3 R (singkatan dari Read, wRite, dan aRithmatic). Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya anak yang belajar di SD haruslah juga diberi dasar yang kuat untuk mampu BERBICARA dan MEMECAHKAN MASALAH. Dan last but not lest anak di SD juga ditata dasar-dasar BERAKHLAK. Jikalau keenam pokok ini ditanamkan dengan kokoh dan dipupuk dengan baik dan teratur sejak di SD kita orang tua boleh merasa tanteram karena langkah-langkah anak selanjutnya insya Allah akan ’aman dan terkendali’.

SIAPA YANG MENJADI ’GURU’ DI SEKOLAH DASAR

Tugas utama guru adalah mendiDIK, mengaJAR, dan melaTIH, disingkat menjadi DIKJARTIH. MENDIDIK dilakoni oleh guru agar anak menjadi pribadi yang ’berakhlak’, dan itu sangat banyak ditentukan melalui proses ’pembimbingan’ dan penerapan ’kultur sekolah’. MENGAJAR dilakukan oleh guru terutama agar anak memiliki kemampuan dasar yang baik dalam hal membaca, menulis, dan berhitung dimana ketiga R ini menjadi indikator utama keberhasilan pembelajaran yang barangkali menjadi dasar munculnya konsep ”Guru Vak” dalam pembelajaran di SD. Adapun MELATIH terutama ditekankan kepada guru agar anak mampu berbicara (termasuk di dalamnya mengemukakan pendapat, berkomunikasi dengan orang lain, berbicara di depan umum, dan yang semacamnya) dan melatih anak untuk memecahkan masalah (hal ini terutama dimaksudkan agar anak tidak ikut-ikutan terseret suka mencari jalan pintas/menerabas, bisanya menggunakan otot dalam menyelesaikan masalah karena tidak terlatih menggunakan otak, atau lari mengambil jalan yang irrasional).

Guru adalah mereka yang memang dipersiapkan berada di garis paling depan, yang setiap saat bertugas berinteraksi dengan murid. Tugas keguruan melambangkan pertemuan antar dua generasi –generasi tua dengan generasi muda- lambang kesinambungan masa lalu dengan masa depan. Gurulah yang diberi kepercayaan untuk menerapkan program kurikuler. Di tangan gurulah –bukan di tangan orang lain- program menjadi hidup, atau . . . . justru mati.

Kalau kita telusuri sejarah pendidikan di Indonesia, kita akan dapati pengetahuan bahwa kualifikasi guru yang mengajar di SD, SLTP, dan SLTA pada jaman penjajahan dan jaman merdeka sampai akhir dekade 1950-an dan permulaan 1960-an jauh di bawah kualifikasi guru pada saat ini. Sampai dengan tahun 1957 pendidikan guru SD adalah Sekolah Guru B (SGB – 4 tahun setelah SD), guru SMP adalah SGA (6 tahun setelah SD atau 3 tahun setelah SMP/SGB kelas III), dan guru SLTA adalah B1 (2 tahun setelah SMA). Setelah tahun 1957 guru SD haruslah lulusan SGA. Pada saat itu Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) belum menghasilkan lulusannya.

Kini terutama sejak tahun 1989 kualifikasi minimum untuk mengisi jabatan guru ditingkatkan, yaitu untuk guru SD adalah Diploma II Kependidikan (2 tahun pasca SLTA), untuk guru SLTP adalah D3 Kependidikan (3 tahun pasca SLTA), dan untuk guru SLTA adalah S1 Kependidikan dan S1 dengan Akta Mengajar (Akta IV).

Pertanyaannya adalah: mengapa pada masa dahulu, guru dengan kualifikasi pendidikan yang jauh lebih rendah dari kualifikasi pendidikan guru pada saat ini dipandang telah berhasil menghasilkan lulusan yang ”bermutu” sedangkan sekarang dengan kualifikasi yang lebih tinggi banyak dipersoalkan mutu dari pendidikan yang dihasilkan.

Salah satu penyebabnya adalah lemahnya pendidikan di Sekolah Dasar. Pendidikan kita lemah pada fondasinya, sehingga sebagus dan sekokoh apapun bangunan yang didirikan diatasnya, tetap saja ’lemah dan mengkhawatirkan’. Kelemahan pendidikan di SD salah satunya disebabkan lemahnya rekrutmen tenaga guru yang akan menjadi ”Pengawal Garis Depan” sekolah-sekolah kita yang menjadi tumpuan bagi sekolah-sekolah selanjutnya.

Sesudah tahun 1965, pasca peristiwa G 30 S / PKI kita merekrut guru SD besar-besaran. Anak bangsa yang pernah sekolah –dan tamat- SD dan punya kemauan untuk mengajar di SD diangkat menjadi CAGUR (calon guru) dan untuk guru agama diadakan UGA (Ujian Guru Agama). Ketika kita mencanangkan Wajib Belajar 6 tahun dan membangun SD secara besar-besaran dalam bentuk SD Inpres, kebutuhan dan kekurangan tenaga guru untuk SD tambah besar. Dalam keadaan yang demikian, untuk rekrutmen tenaga guru yang diperlukan sudah tak mungkin lagi memilih calon guru yang ’mau dan mampu’, sehingga diambillah yang ”mau” saja dahulu –syukur mereka mau- sedangkan ’kemampuan’nya bisa ditangani nanti ketika mereka sudah bertugas, yang penting mereka mau dan ’bisa’ MENGAJAR (sebagian dari tugas/fungsi guru DIKJARTIH).

Memang tugas guru dapat direduksi hanya sebagai pengajar, tetapi dengan demikian ia mengingkari dan melupakan tugasnya yang lebih penting –terutama untuk Sekolah Dasar- adalah sebagai pendidik/pembimbing dan pelatih. Dan memang guru didesain sebagai PENDIDIK/Pembimbing, PENGAJAR, dan PELATIH (DIKJARTIH). Namun dalam kenyataannya, tugas guru yang telah direduksi sebagai ”pemberi mata pelajaran” pun hasilnya sudah semakin tidak memuaskan. Dengan tugas dan kemampuan yang terbatas, guru memang tidak dapat lain kecuali menjadi manusia-serba-terbatas (padahal katanya: Guru SD adalah Guru yang Paling Sakti). Dunianya terbatas pada scope mata pelajaran, tujuannya terbatas pada keberhasilan ebtanas, motivasinya terbatas pada bertahan hidup. Alangkah malangnya nasib bangsa ini kalau ada guru seperti itu; lebih malang lagi kalau banyak guru yang demikian.

Kalau ini sebuah kesalahan tentu awalnya bukanlah pada Guru. Sejak seseorang memasuki profesi keguruan, sudah terdapat berbagai kelemahan. Persepsi Pemerintah dan masyarakat –termasuk persepsi orangtua dan anak didik sendiri- terhadap peran dan posisi guru merosot dan merendah sampai pada tingkat yang mencemaskan. Akibat berantai ialah calon yang berpotensi menjadi guru yang baik mengurungkan niatnya. Karenanya, guru semakin banyak yang berasal dari mereka yang tidak berpeluang memilih pendidikan yang lain, atau yang datang dari lapisan sosial yang semakin rendah. Ini bukan causa prima; ini adalah akibat.

Akibat ini masih berlanjut di dalam lembaga pendidikan guru. Di sini, sifat profesionalisme kelembagaan sudah semakin luntur. Lembaga ini tidak banyak berbeda dengan lembaga yang lain, kecuali bahwa umumnya penampilan dan prestasi lembaga ini lebih buruk. (Bandingkan SPG/SGA dengan SMA/SMK, atau IKIP almarhum dengan Universitas misalnya). Yang dari semula sudah merisaukan ialah program kependidikan yang ditawarkan dalam membangun kefahaman profesi keguruan, bukan ditingkatkan, tetapi justru dihilangkan. Kalau masih ada, ilmu itu dipandang sebagai ilmu bantu, bukan ilmu dasar. Program pembinaan kompetensi profesional –dalam bentuk kemampuan mengajar- hanya bersifat pelengkap, bukan inti. Dengan demikian, setelah sedikit mencicipi praktek mengajar, calon guru segera diberikan brevet kewenangan menjadi guru.

Kompetensi Calon Guru yang dihasilkan oleh Lembaga dan Sistem yang tidak terlalu baik ini, bagi sekolah-sekolah lanjutan dan sekolah-sekolah tinggi –mungkin- tidak terlalu berasa, tapi bagi Sekolah Dasar –sebagai Dasarnya sekolah- sangat berasa ’pahit’nya.

MENYIAPKAN CALON GURU

Tak ada seorangpun yang meragukan, apalagi membantah, bahwa guru merupakan faktor kunci yang paling menentukan dalam keberhasilan pendidikan dinilai dari prestasi belajar siswa. Reformasi apapun yang dilakukan dalam pendidikan, seperti pembaruan kurikulum, penyediaan sarana/prasarana dan penerapan metode mengajar baru, tanpa guru yang ”bermutu” peningkatan mutu pendidikan tidak akan mencapai hasil yang maksimal.

Kenyataan menunjukkan bahwa masih sebagian besar guru underqualified, tingkat penguasaan bahan ajar dan keterampilan dalam menggunakan metode pembelajaran yang inovatif masih sangat kurang. Kondisi seperti ini menambah kecemasan kita menghadapi hari esok yang menuntut adanya guru yang profesional. Tim Penyusun Standar Kompetensi Guru Pemula (SKGP) merumuskan kompetensi guru dalam 4 (empat) rumpun yaitu: (1) Penguasaan Bidang Studi, (2) Pemahaman tentang Peserta Didik, (3) Penguasaan Pembelajaran yang mendidik, dan (4) Pengembangan Kepribadian dan Keprofesionalan.

Untuk mendekati masalah ini, wajar kita melihat mata rantai yang lain, yaitu lembaga yang mendidik guru, lembaga yang bertugas dan berfungsi menyiapkan calon guru. Sebuah hal positif masa lalu yang tidak dapat dibiarkan berlalu begitu saja adalah ini: apabila kita mempertanyakan dimana guru dididik dan dipersiapkan, jawabnya jelas: oleh sebuah lembaga khusus. Lembaganya jelas : sekolah guru. Tugasnya jelas: mendidik calon guru. Programnya jelas: penanaman dan pemantapan jiwa keguruan, nilai keguruan, kebanggaan profesi, dan tentu saja –tetapi tidak semata-mata- bekal-bekal ilmu-ilmu keguruan, dari falsafah pendidikan sampai dengan model mengajar.

Pada zamannya, dan dalam konteks tertentu, pendekatan lembaga itu cukup sehat dan jelas. Dengan bersahaja, guru adalah sebuah vocation, sebuah pekerjaan. Tetapi sekaligus, pekerjaan itu adalah sebuah dedication; sebuah pengabdian. Dengan itu, guru menjadi guru sekaligus menjadi icon keteladanan; karena itu guru dihormati tidak sebagai pengajar, tetapi sebagai pendidik. Kini, kita inginkan tugas guru lebih eksplesit disebut sebuah profession, sebuah pekerjaan dengan keahlian khas. Dimanakah guru-guru profesional ini dididik ? Kemarin masih ada SPG (Sekolah Pendidikan Guru), namun sekarang sudah ’mati’, tapi dimana kuburnya ? Kemaren masih ada IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan), sekarang telah mengalami metamorfose. Untuk menjadi lebih baik, atau sebaliknya ? Sejarah masih harus membuktikan; dan kalau ternyata kondisi keguruan dan persekolahan kita tidak menjadi lebih baik secara signifikan, maka inipun menjadi malapetaka di dalam sejarah perkembangan pendidikan di Indonesia.

Kita bertolak dari situasi yang normal bahwa seorang guru tentulah berpendidikan sekolah guru, sekolah yang karena terkait pada persiapan pekerjaan tertentu disebut sekolah profesional, yang sebenarnya adalah sejenis sekolah kejuruan. Tetapi lulus dari sekolah tersebut belum langsung menjadikan guru tersebut benar-benar seorang dengan kemampuan profesional. Sejauh ini, dia baru memiliki syarat formal, syarat yang berada pada tingkat dasar dari seluruh syarat-syarat yang diperlukan. Seorang lulusan sekolah guru tentu berpengetahuan keguruan; tetapi tidak ada alasan untuk segera berkesimpulan bahwa dia adalah seorang guru yang ’pasti’ berkemampuan profesional. Perlu disadari bahwa kecuali berkelulusan lembaga pendidikan guru, masih ada beberapa karakteristik yang harus dimiliki untuk menjadi seorang guru yang profesional, tetapi hanya dapat dikembangkan sesudah pendidikan tahap formal selesai.

Barangkali dengan pertimbangan inilah kenapa Pemerintah menetapkan bahwa guru SD harus berkualifikasi Diploma 2 ( 2 tahun pasca SMA). Padahal yang ”sebenarnya” adalah untuk menjadikan guru yang profesional diperlukan pendidikan lagi paling tidak 2 tahun setelah calon guru itu lulus dari ”Sekolah Guru”. Tapi apa mau dikata, SPG sudah mati karena sampai ajalnya –atau dimatikan sebelum ajal ?- dan itu tak bisa hidup lagi, dan tak boleh hidup lagi.

Barangkali karena besarnya harapan untuk hadirnya sosok guru yang profesional menangani sekolah-sekolah dasar kita agar Sekolah Dasar dapat menjadi Dasar Sekolah selanjutnya, meskipun kita tahu pasti bahwa yang sudah mati itu tak akan hidup lagi, namun di saku ini masih tersisa seberkas harapan: Masih mungkinkah reinkarnasi Sekolah Guru dalam bentuk Sekolah Menengah Kejuruan (jurusan Keguruan) . Wallahu a’lam.

P E N U T U P

Mengantisipasi adanya berbagai ketimpangan dan kelemahan dalam sistem penyelenggaraan program pendidikan guru, khususnya bagi guru Sekolah Dasar, perlu adanya suatu pemikiran dan upaya-upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut.

Pengembangan pendidikan meliputi program pengadaan dan pengembangan tenaga guru. Program pengadaan dan pengembangan tenaga guru ini harus benar-benar diperhatikan secara sungguh-sungguh, karena berhasil tidaknya pembaharuan pendidikan banyak ditentukan oleh faktor guru. Dalam pengadaan dan pengembangan tenaga guru ada dua masalah pokok yang perlu dihadapi yakni pemenuhan tenaga guru yang besar jumlahnya dan peningkatan kualitas profesional guru yang belum memenuhi standar minimal.

Untuk keberhasilan pembaharuan pendidikan, bukan saja ditentukan oleh cukup tidaknya tenaga guru tetapi juga kualitasnya. Apa artinya jumlah guru yang cukup tetapi kualitasnya rendah (dan lebih tak berarti lagi manakala sudah jumlahnya tidak cukup, kualitasnya rendah lagi). Hal ini berarti bahwa program pendidikan guru disamping harus memperhatikan jumlah guru yang diperlukan, juga bersamaan dengan itu harus memperhatikan peningkatan kualitasnya.

Untuk memperoleh calon-calon guru yang baik, maka calon-calon yang ingin masuk sekolah guru hendaknya diseleksi berdasarkan kemampuan dan minatnya. Sekolah guru –terutama untuk menjadi guru di Sekolah Dasar- kurikulumnya dirancang lebih ditekankan pada ”penampilan guru” baik ketika berada di depan kelas, di sekolah, di dalam kehidupan pribadinya maupun di dalam masyarakat.


Banjarbaru, Desember 2007

AHMAD KUSASI

Tidak ada komentar: